17. Pertemuan Dua Keluarga

729 99 19
                                    

"Aku mendapat cerita ini dari Papa."

Kalandra menarik napas sejenak, menghembuskannya, kemudian kembali memandang Halilintar tepat di mata. Halilintar membalasnya dengan sorot penuh keingintahuan.

"Tahun lalu, saat sedang melihat barang-barang peninggalan Mama di gudang, aku menemukan foto itu. Beserta surat adopsi yang terdapat namaku disana."

Ingatan Alan kembali berputar pada satu tahun yang lalu. Memang ketika dirinya merasa rindu pada sang ibunda, Alan akan pergi ke gudang rumahnya untuk melihat-lihat kembali barang peninggalan mama.

Seperti hari itu. Ketika dirinya tengah membuka koper yang entah berisi apa, dia menemukan secarik foto dua bayi lelaki dan selembar kertas surat. Yang setelah ia baca isinya, Alan pun mengerti kalau surat itu adalah surat adopsi.

Goresan tinta yang tertera di atas kertas usang itu bertuliskan namanya. Hati Alan mencelos. Selama kurang lebih 15 tahun ia hidup dan tinggal bersama keluarga ini, rupanya dirinya hanya seorang anak angkat? Lucu sekali.

Tak ingin tenggelam dalam rasa penasaran, Alan pergi dari gudang lalu menghampiri Amato yang kebetulan saat itu sedang bekerja di rumah. Dia mengintip takut-takut dari celah pintu ruang kerja sebelum memberanikan diri untuk mengetuk.

Setelah izin masuk diberikan, Alan berjalan mendekati Papanya. Tanpa basa-basi, dia menyodorkan kertas foto di tangan, "Papa, ini foto siapa?"

Amato melirik pada foto yang disodorkan. Sedikit melotot kaget kemudian mengalihkan pandang sepenuhnya pada Alan, "dari mana kamu dapat foto ini?"

"G-gudang ..." jawab Alan terbata.

Pria dewasa di depannya mendengus kasar, "itu fotomu, bersama adikmu," ucapnya dingin. Dengan fokus yang kembali pada pekerjaan.

"Adik?" gumam Alan. Yang masih bisa didengar oleh Amato.

Helaan napas berat kembali keluar dari hidung Amato. Dia menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi kerja. Manik obsidiannya yang tajam menatap Alan dengan raut serius.

"Ya, kamu punya adik. Papa tidak tau siapa dan dimana dia sekarang. Seperti apa yang kamu sangka, kamu bukanlah keturunan murni keluarga ini."

••••••

"Papa bilang, setelah kelahiran adikku, orangtua kandungku mengalami kesulitan ekonomi. Sehingga ibu terpaksa menjualku pada keluarga kaya raya ini. Dikarenakan nyonya Amato yang iba melihat keadaan mereka saat itu, membuatnya bersedia membeliku dengan harga miliaran,"

"Mama begitu menyayangiku. Dia ingin aku tumbuh seperti anak-anak lainnya yang mendapat kasih sayang dari orangtua lengkap. Mama tak pernah memberitahu ku soal ini, hingga aku selalu menganggap bahwa aku benar-benar merupakan keturunan terakhir keluarga Adhikara,"

"Mereka mengubah akta kelahiranku. Mereka mengubah margaku. Mereka membuatku sama sekali tak memiliki ingatan apapun tentang orang tuaku. Selama ini aku hidup dalam sandiwara yang mereka mainkan,"

"Karena ketidaktahuanku, semuanya berjalan normal. Sampai di tanggal 22 Desember, kebakaran itu terjadi ..."

Suara Alan terdengar bergetar. Sedangkan Halilintar sendiri berusaha mati-matian menahan sesak yang menguasai dadanya.

"... hari itu adalah hari ibu. Aku berniat merayakannya dengan kue mangkuk berhias lilin di atasnya. Hanya ada aku dan Mama di rumah, yang lain sibuk dengan kegiatan di luar. Bodohnya, aku yang baru kelas 3 SD kala itu, malah mencoba menyalakan lilinnya sendirian. Padahal banyak pembantu yang seharusnya bisa ku mintai bantuan," jelas Alan dengan suara yang sarat akan penyesalan.

Munchausen Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin