14. Titik Terang

896 128 24
                                    

Rasa panas menjalar di pipi kanannya. Tangan Halilintar bergetar memegangi pipi yang ia yakin kini telah memerah. Aliran darah juga tak luput dari sudut bibirnya, saking kerasnya tamparan itu.

Iris crimson-nya menatap nanar sosok yang telah menamparnya. Manusia yang begitu dihormati dan disegani banyak orang. Amato Adhikara.

Iya, kalian tidak salah dengar. Halilintar yang notabenenya "anak"-nya sendiri, ditampar oleh si kepala keluarga. Tidak, Halilintar tidak akan merasa sakit hati hanya karena ringannya tangan Amato ini, tapi ia lebih sakit hati lagi pada seseorang yang hanya berdiri mematung di balik tubuh sang miliarder.

Ice.

Orang itu adalah Ice. Halilintar juga tak tahu bagaimana Ice bisa ada disini. Yang jelas, hanya ada satu kesimpulan di otak Halilintar sekarang. Ice telah mengkhianatinya. Dia pasti telah membocorkan hal yang selama ini Halilintar sembunyikan. Identitas aslinya. Ia menatap Ice nyalang.

Ice peka. Dia meyadari tatapan Halilintar padanya, "maafkan aku, Hali. Tapi Papa berhak tahu soal ini. Dia harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kalian," ucapnya dalam hati.

"Kamu kemanakan anak saya, hah?!"

Nah, benar 'kan dugaan Halilintar?

"Gue anak lo, pak tua."

Lagi. Tamparan lagi-lagi menghantam wajahnya. Kali ini di pipi kiri.

"Kamu bukan anak saya. Kamu bukan Kalandra. Kalian jiwa yang berbeda. Apa yang sudah kamu lakukan padanya, hm?" tanya Amato penuh intimidasi.

Halilintar tersenyum miring, "anak? bukannya lo nggak pernah nganggep Alan sebagai anak lo?"

"Dan setelah dia ngilang, baru lo nyariin dia? Bapak macem apa lo?"

Bugh!

Tinjuan itu mendarat dengan mulus di wajah Halilintar. Membuatnya terhuyung ke belakang. Halilintar memegangi pipinya yang membiru. Tersenyum puas melihat Amato terpancing omongannya.

"Iya, gue Halilintar. Gue bukan Kalandra."

Tanpa Halilintar duga, Amato mengambil pistol yang sedari tadi memang tergeletak di atas meja kerjanya. Mengarahkan moncong pistol tersebut ke hadapan Halilintar. Namun si remaja tak gentar sama sekali. Dia justru semakin menajamkan tatapannya pada Amato.

"Jawab saya Halilintar, dimana Kalandra?" tanya Amato lagi. Ia meletakkan jari telunjuknya di pelatuk pistol. Siap menarik pelatuk itu kapan saja dia mau.

"Gue juga nggak tau, brengsek!"

"Bagaimana kamu bisa tidak tau?"

"Ya mikirlah, mana ada orang mau dituker badannya kek gini? Gue aja nggak kenal dia, malah diseret ke kehidupan dia yang nggak jelas! Daripada gitu mending gue mati dari awal."

"Saya tidak peduli dengan curhatan kamu itu, Halilintar. Yang saya tanyakan sekarang, dimana Kalandra? Tidak mungkin kamu tidak mengetahuinya."

Halilintar mengepalkan kedua tangannya, "gue bilang nggak tau, ya nggak tau, anjing!"

Amato terkekeh sinis, "berani kamu bicara kasar pada saya?"

Karena sejatinya, Amato paling tak suka orang yang berbicara kasar. Apalagi sampai memanggilnya dengan nama hewan.

"Berani lah, kenapa gue harus takut sama lo? Menang duit aja bangga," ujar Halilintar tak kalah sinis.

"Bocah sialan."

Pelatuk ditarik. Timah panas berukuran sedang itu meluncur dan mengenai tubuh Halilintar. Bersemayam di perut bagian kanannya. Halilintar yang tak sempat menghindar pun langsung jatuh terduduk. Memegangi perutnya yang terus menerus mengeluarkan cairan merah.

Munchausen Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora