Penampakan Di Lantai Tiga

162 9 0
                                    

Tidak ada acara selamatan kirim doa pasca kepergian Siska untuk selamanya sebagaimana yang lumrah dilakukan oleh para warga di kaki bukit. 

Enggal juga tidak terlihat melakukan ibadah apa pun semenjak Cahya menikahinya. Sampai menimbulkan pertanyaan terkait keyakinan apa yang sebenarnya dianut oleh lelaki kelewat pendiam itu. Apakah agama hanya sebatas formalitas yang tercetak di KTP? 

Ah, sepertinya memang demikian, sebab nyatanya Enggal berani memiliki tujuh istri, yang mana itu sudah menyimpang dari ajaran agamanya. 

Belakangan, Cahya baru sadar kalau dirinya pun tak lagi pernah salat sejak pindah. 

Entah bagaimana, dia bisa lupa begitu saja, hingga kematian Siska menyadarkan akan kewajibannya. 

Saat menanyakan siapa yang memiliki mukena di rumah itu--dan ternyata tidak ada satu pun dari istri Enggal yang memilikinya, Cahya baru mengetahui kalau di rumah suaminya itu memang tidak boleh ada yang menjalankan perintah agama. Juga tak boleh memasukkan segala hal terkait agama ke dalam rumah. Bahkan yang berani melanggar akan dikenakan hukuman berupa sanksi kekerasan fisik.

Bu Darmi adalah satu-satunya wanita yang bisa menjalankan salat karena dianggap sebagai orang luar. Namun untuk menjalankannya, wanita paruh baya itu tetap harus berjalan jauh meninggalkan rumah dan sembahyang di musala terdekat. 

Tidak peduli apakah itu merepotkan atau tidak baginya. Enggal sudah menetapkan peraturan itu di dalam rumahnya dan tak boleh ada satu pun yang melanggar. 

Alasan Bu Darmi bertahan bekerja di sana adalah karena dia harus membiayai anak bungsunya yang masih duduk di bangku SMA. Wanita itu memiliki dua putra dan si sulung kini sudah bekerja di sebuah pondok pesantren yang gajinya juga tak terlalu besar. 

Bu Darmi menceritakan kepada Cahya kalau dirinya harus tetap bekerja lantaran tak ingin merepotkan anak sulungnya yang selama ini sudah banyak membantu kebutuhan hidupnya. 

"Maklum, saya janda. Suami saya nggak mau menafkahi anak-anak setelah perceraian kami. Jadi, sejak saat itu saya harus mulai bekerja. Dan Amer, anak sulung saya, sudah ikutan susah sedari SMP. Dia harus mengabdi di pesantren agar bisa meneruskan sekolah secara gratis. Tapi karena dia anak yang pintar, jadi akhirnya bisa mengajar di pesantren yang dulu menampungnya."

Cahya hanya sesekali menanggapi dan kebanyakan hanya tersenyum penuh kekaguman kepada Bu Darmi yang mengisahkan tentang hidupnya bersama kedua anak lelakinya. 

Keberadaan wanita ini di rumah yang selalu sepi dan lebih mencekam semenjak kematian Siska dianggap sangat menolong oleh Cahya, sebab ia tak harus selalu merasa ketakutan apabila suami atau para kakak madunya belum pulang. 

Mery yang dulu selalu tinggal di rumah karena masih harus bolak-balik mengunjungi Siska, sudah mulai kembali bekerja di butik miliknya semenjak tujuh hari kepergian Siska. Sehingga menyisakan Cahya saja si pengangguran yang tinggal di rumah. 

"Hari ini kita masak apa, Bu Darmi?" Cahya bertanya setelah Bu Darmi merampungkan ceritanya. 

"Sambal goreng petai dan ati ampela. Non mau dimasakin menu lain?"

Cahya menggeleng. 

Karena sore itu sangat terik, ia lantas permisi keluar dan berniat menyiram tanaman mawar milik Mery agar tak layu. 

Saat sesekali menyiram tanaman yang merambat di dinding, perhatian Cahya tak sengaja tertuju ke arah bangunan di lantai tiga. Tempat di rumah itu yang belum pernah ia datangi sama sekali. 

Tepat saat perhatiannya mengarah ke jendela, Cahya sempat melihat bayangan sosok anak laki-laki berkepala botak yang tengah mengawasinya. 

Akan tetapi bukan bayangan wajah anak-anak yang lucu, melainkan mengerikan karena bentuk mulutnya sangat lebar seolah bibirnya koyak hingga sudutnya menyentuh kedua sisi telinga.

Istri-Istri yang DikorbankanOù les histoires vivent. Découvrez maintenant