-II-099-41-

18 5 0
                                    

KARENA kami sudah bisa melihat daratan yang kami tuju, Ella dan Immanuel membereskan tenda dan memisahkan setiap barang. Barang yang sekiranya berguna akan kami bawa, dan barang yang tidak berguna akan ditinggalkan. Kami menepi sekitar lima menit berikutnya, tepat setelah semua segala persiapan selesai. Bongkahan es kami menempel di tebing es yang lebih rendah. Immanuel membawaku turun lebih dulu. Ella dan Ethan menyusul setelah membawa dua ransel yang akan dibawa.

Aku sedikit merindukan daratan. Berada di bongkahan es yang mengapung di atas lautan tidak seburuk itu. Aku cukup menyukai sensasinya. Tapi berada di atas benda yang mengapung di atas lautan ketika badai sedang berlangsung adalah sensasi yang tidak ingin aku rasakan. Aku tidak menyukai saat-saat itu. Namun berada di daratan ini tidak memberiku rasa tenang yang awalnya aku dambakan. Ini adalah daratan di mana makhluk itu tinggal. Tempat di mana Nathan berada.

“Kita tunggu Evan dulu atau bagaimana?” tanya Ella.

“Kita langsung bergerak saja,” jawab Immanuel. “Nanti dia akan menyusul kita saat istirahat makan malam untuk Nathalia.”

Ella dan Ethan mengangguk menyetujui usulannya. Immanuel membungkuk agar aku bisa naik ke punggungnya. Kami mulai babak baru dalam perjalanan kami. Bergerak dengan kecepatan seperti kereta bawah tanah menuju ke arah timur. Langit masih mendung dipenuhi awan-awan abu-abu yang menggulung, cahaya matahari bisa menembus masuk dari beberapa celahnya. Pemandangan yang bisa aku lihat hannyalah warna putih dari salju yang menutupi segalanya dan batu-batu es besar. Daratan di sini tidak semulus kelihatannya. Konturnya tidak rata. Berbukit-bukit, kadang lembut karena bersalju, kadang keras karena kami menginjak batuan es dan gletser yang licin, kadang kami melompat melewati lembah, kadang menanjak, kadang menurun.

Mendekati sore hari, awan mendung berangsur-angsur menghilang dan berganti dengan langit bersih berwarna biru. Aku bahkan bisa melihat matahari yang mendekati timur, bersiap mengakhiri cahayanya untuk hari ini. Immanuel memilih tempat tinggi untuk kami beristirahat. Berupa bongkahan es yang bertumpuk-tumpuk menyerupai gunung batu.

Ella dan Ethan kembali bahu membahu untuk membuat tenda dengan sedikit taburan cekcok kecil. Aku dan Immanuel bertugas menyalakan api dengan kayu bakar terakhir. Aku merapat di badannya. Matahari masih bersinar terang meskipun jam sudah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh. Sinarnya setara dengan pukul empat jika di kota Quartur, namun sama sekali tidak hangat dan udara malam bertiup dingin. Saat api sudah menyala, aku mulai merasa sedikit nyaman, namun api ini tidak akan bertahan lama.

“Semoga Evan cepat-cepat datang,” ujar Immanuel.

Meskipun Immanuel tidak melirikku ketika mengatakan itu, tapi aku mengangguk mengiyakan. Semoga saja.

“Kau mau makan sekarang?” tangannya, menunduk melirikku.

Aku kembali mengangguk. Aku belum sepenuhnya merasa nyaman oleh kehangatan api yang baru saja menyala. Bibirku terasa kaku.

“Kau harus banyak-banyak meminum sesuatu yang hangat agar darahmu tidak membeku,” kata Immanuel.

“Aku harus berolahraga?” tanyaku, sedikit menggigil.

Immanuel tersenyum. “Itu bukan ide buruk, tapi sebaiknya jangan dulu. Pembuluh darah menegang akibat cuaca dingin yang terus-menerus bisa membuatnya pecah jika tiba-tiba tekanan darahmu naik. Darahmu juga bisa mengental.”

Aku sedikit terkejut. “Jika aku terserang serangan panik, apa itu bisa menaikkan tekanan darah?” tanyaku, karena ketika aku merasa panik detak jantungku meningkat, jadi kupikir secara tidak langsung itu bisa menaikkan tekanan darah.

“Mungkin saja,” jawab Immanuel. “Tapi aku tidak perlu bertambah panik karenanya. Cukup hadapi dengan ketenangan saja.” Sambil mengusap-usap bahuku.

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang