-II-064-06-

63 12 1
                                    

KAMI berlima berlari menuju awan gelap yang berada di puncak tertinggi Pegunungan Bebatuan Kandania——sebenarnya berempat, aku tidak dihitung karena tidak berlari. Daerah ini sudah termasuk bagian dari Kerajaan Kandania. Seharusnya kami melihat pemandangan indah dari danau-danau berwarna hijau kebiruan, hutan taiga, dan gunung batu dengan puncak berselimut salju. Tapi cuaca ekstrem tahun ini membuat musim panas lebih bersalju di beberapa tempat. Pohon-pohon cemara dan pinus di hutan taiga dipenuhi warna putih, salju di puncak gunung bahkan lebih tebal enam kali lipat dari biasanya, danau-danau membeku seperti di tengah musim dingin.

“Pegangan yang erat dan tutup matamu jika tidak ingin terkena tamparan salju,” ujar Immanuel. Kontur jalan memang semakin terjal dengan batu-batu keras yang tajam tertanam di bawah salju.

Aku menurutinya, kadang-kadang. Pemandangan bersalju jarang aku temukan di kota Quartur, jadi aku ingin melihat dan merasakan salju. Setengah kelinci bakar akan cepat habis tercerna dalam perut dengan cuaca dingin seperti ini.

Ya, benar. Tadi aku berhasil memakan sarapanku, lebih tepatnya dengan terpaksa. Di saat semua orang menghabiskan makanan mereka sampai menyisakan tulang, aku hanya berhasil memasukkan setengahnya ke dalam perutku——sisanya dibungkus oleh Immanuel. Apa yang Evan katakan padaku cukup memberiku semangat dan sepenuhnya adalah kebenaran . Emosiku tidak dibutuhkan di saat seperti ini. Aku tidak perlu memikirkan Nathan karena itu tidak membantunya, aku hanya perlu fokus untuk menyelamatkannya. Begitu pula dengan memikirkan bagaimana pendapat Gio atas pilihan-pilihan yang aku pilih, itu urusan nanti. Setelah semuanya selesai aku akan menjelaskan semuanya. Tadi aku sempat bertanya, kenapa mereka para vampir harus ikut makan sepertiku? Padahal dari cerita Immanuel, kakek buyutnya tidak memakan makanan manusia. Dan mereka menjelaskannya silih berganti.

“Ya, kami bangsa vampir tidak membutuhkan makanan manusia, yang kami butuhkan hanyalah darah,” kata Ella. “Tapi karena kami terlahir dari manusia, kami masih memiliki DNA manusia. Itu membuat kami memiliki keinginan memakan makanan, meskipun sebenarnya tidak memberikan efek apa pun.”

“Masudnya?” tanyaku, tidak begitu mengerti dengan kalimat terakhir yang Ella katakan.

Ethan yang menjawab dengan mulutnya yang penuh dengan makanan. “Maksudnya, kami tidak mendapatkan manfaat yang sama seperti yang didapatkan manusia ketika makan. Energi, nutrisi, dan lainnya. Kami hanya bisa mengecap makanan itu saja, merasakan betapa lezatnya setiap masakan hanya dilidah.”

“Seolah makanan itu hanya lewat saja?” tanyaku.

“Tubuh kami membusukkannya terlebih dahulu selama belasan jam, tidak berbeda jauh dari tubuh manusia yang mencerna makanan,” kata Immanuel.

“Lalu kenapa kalian makan bersamaku?”

“Sebenarnya kami sudah menghisap habis darah kelinci salju ini. Untuk tambahan nutrisi dan stamina,” kata Ethan, tidak menjawab pertanyaanku.

“Kami hanya disuruh Immanuel untuk memakan daging kelinci yang sudah kami hisap. Tujuannya untuk menstimulus, agar kau mau makan. Biasanya orang yang melihat orang yang makan dengan lahap akan memiliki dorongan untuk melakukan hal yang sama. Seperti menguap yang bisa menular. Begitu katanya,” jelas Ethan.

Aku langsung melirik Immanuel dengan wajah tidak percaya, dan dia seperti biasanya akan membalas dengan senyuman manis, wajah tanpa dosa. Dia benar-benar memikirkan aku.

“Katanya, orang yang sedih, sedang stres, dan banyak pikiran akan memiliki dorongan aneh tentang nafsu makan yang bertambah atau berkurang. Dan menurutnya.” Ella memiringkan kepalanya ke arah Immanuel. “Kau akan condong kehilangan nafsu makan ketimbang nafsu makan berlebihan, dan sejauh ini, dia benar.”

Membeku #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang