Tapi, bukankah ia juga terpaksa melakukan semua ini?

Ironis. Itulah yang terpikir oleh Ryu saat ini.

"Jika benar semua tidak bisa ku tawar atau kuringankan, maka cepat kembalikan aku agar hukumanku segera berakhir. Terserah padamu untuk memberikanku luka apalagi, aku sudah tidak peduli!" ucap Ryu sembari mengusap kasar air matanya.

Nirmala terkekeh melihat itu. Wajah datarnya kini telah berubah lagi ceria dengan senyuman yang seharusnya tak sosok itu tunjukkan di depan Ryu yang putus asa.

"Waktu untuk menjalankan karmamu memang sebentar lagi. Tapi, semakin berkurang waktu maka levelnya juga akan meningkat. Mulai sekarang kau akan berhadapan dengan lebih banyak lagi, dan apapun keputusanmu maka semuanya akan kau tanggung sendiri." ucap Nirmala.

Ryu hanya bisa terdiam pasrah. Dan setelah itu sebuah cahaya menyilaukan pun datang dan mengambil jiwa Ryu yang tadi berlutut di depan Nirmala dan juga Uji.

Melihat kepergian Ryu yang tiba-tiba, Uji hanya bisa menatap sendu. Ia tak bisa apa-apa walau sebenarnya ingin membantu. Anak itu hanya bisa menurut dan menangis dalam diam karena ini juga merupakan bagian dari hukumannya.

"Maafin gue karena nggak bisa apa-apa. Padahal perasaan gue juga masih ada diraganya, tapi gue nggak bisa bantu lo dan malah bikin lebih banyak luka buat lo.."

. . .

Jika di dunia nyata waktu yang telah Ryu habiskan dalam keadaan tak sadarkan diri adalah 5 hari.

Yap, semenjak kejadian Ryu yang collaps, anak itu telah terbaring tak sadarkan diri selama 5 hari lamanya. Selama waktu itu, ketiga temannya dan Veno lah yang menemani Ryu.

Jika ditanya kemana orang tua dari Uji? Jawabannya mereka bilang mereka sibuk. Tak ada satupun dari mereka yang menjenguk atau bahkan sekedar bertanya tentang keadaan anak mereka lagi. Mungkin hanya ayah Uji saja yang pernah menelfon Veno, itupun hanya bertanya soal tagihan rumah sakit. Tak lebih.

Klek

Pintu kamar rawat Ryu yang sepi itu terbuka. Erza, sebagai si pembuka pintu berjalan mendekat menuju Ryu yang masih terbaring itu.

"Masih betah aja lo tidur Ryu.." gumamnya seraya meletakkan kantung berisi makanan yang akan disantapnya bersama dengan Dikey dan Langit nanti.

Omong-omong, kebetulan Dikey dan Langit masih ada kegiatan klub disekolah, jadi keduanya terlambar datang hari ini.

Karena Erza hanya sendiri, pemuda itu memutuskan untuk duduk di sebelah ranjang pesakitan Ryu. Entah dorongan darimana, tangan Erza mengusap lembut pucuk kepala Ryu. Jika melihat anak itu sekarang, Erza jadi teringat dengan Joshua disaat-saat terakhirnya dulu.

"Kalo Josh masih hidup, kayaknya Josh bakalan bahagia banget deh bisa ketemu lo. Walaupun udah dalam wujud lain, Josh pasti bakalan tetep jadi sahabat lo.."

Erza ingat, saat kematian Ryu dirinya memang melihat Joshua memeluk jasad Ryu yang bahkan terlihat lumayan mengerikan. Joshua tanpa jijik terus memeluk serta mencoba membangunkan Ryu, dirinya tak peduli dengan tatapan para pasien lain, ia hanya mempedulikan Ryu. Hanya mmepedulikan anak itu seorang.

"Sayangnya Joshua nggak ada lagi Ryu. Dia nyusul lo nggak lama setelah lo pergi.." ucap Erza.

Meski tak menangis, Erza menundukkan kepalanya mencoba untuk menyembunyikan kesedihan. Mungkin bagi orang lain Erza akan dianggap cengeng, namun baginya yang merasakan kehilangan itu, mengingat nama dari orangnya saja tentu akan sangat menyakitkan.

"Gue kangen lo Josh.." lirihnya.

Tanpa Erza sadari, Ryu telah tersadar dari tidurnya yang lumayan panjang. Anak itu menatap langit-langit kamar dengan mata yang berkaca-kaca. Ryu tak terisak, ia hanya menangis tanpa suara ketika terbangun dari pertemuannya bersama Nirmala tadi.

What Kind of Future? [END]Where stories live. Discover now