36. Kuncup Bunga Tulip

167 25 0
                                    

Hai, senang bisa bertemu kalian lagi. Apa kabar????

Ada yang bilang, menulis akan lancar kalau hati kita sedang gak baik baik aja. Ternyata bener lho, apa iya aku harus sakit hati terus biar aku bisa lancar nuangin ide, lancar update HAHAHA.

Selamat membaca! Aku mau ngasih tau, aku sedari kecil suka sekali sama bunga tulip, sesuka itu, jadi kasih aku emot bunga tulip di sini!!! 🌷🌷

***

Kacau. Sekiranya itu yang sedang Alwi rasakan, pulang tanpa berpamitan dengan Papanya, tidak mengisi jurnal kehadiran serta tanda tangan Dokternya. Alwi Dian Ikhwani, Psikiater muda yang gagah dan pemberani. Sikap dingin mendominasi, namun ada saatnya ia bisa mencair, luluh akan hal hal sederhana. Lentera contohnya.

Begitu sampai rumah, ia memasuki kamar dengan membanting pintu. Membiarkan tanpa penerangan sedikitpun, kakinya bergerak menuju jendela kacanya, ditatap jalanan itu dengan tajam. Monster dalam dirinya terusik, kedua tangannya mengepal kuat bersiap menghantam kaca. Isi kepalanya berisik dengan suara suara aneh. Tubuhnya seperti terbakar. Matanya nyalang dengan semburat amarah tertahan.

Tiba-tiba suara Papanya memecah ketegangan. Merasa terganggu namun ia enggan beranjak dari depan jendela. Netranya terpejam, meresapi tiap ucapan yang ia dengar dari luar.

"Mau jadi apa anak itu kalau nikah sama gadis miskin?!" suaranya melengking memekakkan telinga Alwi.

"Kalau anak itu masih berhubungan dengan gadis miskin kampungan, Papa akan kirim dia ke Luar Negeri!"

"Kamu ini apa apaan sih? Dia masih kuliah di jurusan yang sangat dia sukai, tega kamu lakuin itu ke anak semata wayang yang kamu sayangi?" suara Mamanya tak mau kalah.

"Papa tidak perduli! Papa tidak bercanda untuk masalah ini, bilang pada anak itu, Papa juga akan menyuruh kekasihnya pergi dari kota ini, pindah kampus supaya mereka tidak bisa berhubungan lagi!"

"Kamu ini kesambet setan apa sih, Mas? Alwi itu udah besar, dia butuh kebebasan memilih pasangan hidupnya." ucapnya terus menimpali.

"Dengan gadis kampung yang miskin? Orangtuanya saja tidak jelas, Mama tahu gadis itu yatim piatu atau mungkin bisa saja anak haram. Malu sama teman teman Papa!"

"Egois kamu ya, Mas!"

Matanya terbuka pelan. Ingatan pada luka semasa mudanya terkuak. Bahkan, rasa sakitnya masih sama. Goresan itu tak kering, meninggalkan bekas. Ketika kesadarannya mulai penuh, Alwi membuang napas kasar. Tak seharusnya ia kembali pada ingatan itu, meskipun disembuhkan oleh apapun tidak akan bisa pulih. Sepenuhnya luka, sisanya melanjutkan hidup karena orang-orang seumurannya sudah bahagia, Alwi juga ingin merasakannya.

Kaget dengan suara knop pintunya, buru buru ia menyalakan lampu. Mamanya tersenyum, berdiri canggung meminta izin masuk kamar lewat tatapannya.

"Maaf, tadi Alwi enggak sengaja banting pintu, Mama terganggu ya?" raut wajahnya menjadi merasa bersalah.

"Tidak apa, Nak... Mama ngerti kok."

Alwi menunduk di hadapan Mamanya, tidak seharusnya ia bersikap seperti anak membangkang lagi, dengan masuk rumah tanpa seutas kata, membanting pintu, itu adalah Alwi yang dulu.

My Perfect PsikiaterWhere stories live. Discover now