9

894 47 0
                                    

"Mau kemana?"

Langkah North terhenti diujung tangga, wajahnya menoleh ke samping. Ia lantas melanjutkan langkah setelah menemukan kedua orangtuanya berada di ruang tv.
"Belvi," jawabnya setelah berdiri mendekat.

"Kondisi Papa Belvina sudah membaik. Dan mungkin setelah semuanya selesai, mereka akan pulang," ujar sang papi. Pria berumur 40-an itu terduduk tenang. Sesekali membuka mulut kala istrinya menyodorkan sepotong apel.

"Jadi, North gak harus kasih tau Belvina?" tanya North yang dibalas gelengan oleh kedua orang tanya.
"Tapi Belvina mungkin--"

"Mami tau, North. But she trusts you more than herself. Jadi, mungkin akan lebih baik kalau kamu yang bicara," ujar Aneth kemudian menyerahkan satu paper bag pada North.
"Sekalian buat Belvina, dari Papi."

North menerimanya. Namun pria itu memilih duduk di armchair, bersisian dengan Dwiartha, papinya.
"Do you mind if I marry Belvina after our graduation?"

Tawa Dwiartha terdengar pelan. Ia menepuk bahu sang anak yang ternyata sudah sedewasa ini.
"Papi gak akan larang. Tapi menikah bukan hal yang mudah. Akan ada tanggung jawab besar yang kamu tanggung nanti. Setelah sekolah, memangnya kamu sudah bekerja? Kamu perlu kerja, boy. Gimana caranya kamu nafkahin anak orang kalau kamu sendiri gak bisa nafkahin diri kamu sendiri?"

"Aku bisa kasih North uang kok, Pih. Nanti kan bisa sambil jalan. Mereka kuliah, terus setelah dapet kerja kita bisa lepas." Aneth menyaut, menyuarakan pendapatnya yang selalu ingin membuat Belvina menjadi menantunya.

"North punya tabungan. Mungkin bisa dijadiin pendapatan sementara?"

Ucapan North disambut dengan senyum simpul dari papinya.
"Gak semua keinginan Belvina harus kamu penuhi. Kalau sekiranya keinginan Belvi bukan suatu hal yang baik, kamu bisa menolak."

"Yo enggak toh, Pih! Dimana letak gak baiknya? Nikah itu baik loh! Menghindari hal-hal negatif, apalagi si North tukang nyosor tuh katanya Belvi. Mamih setuju aja kalo mereka berdua mau nikah. Sekarang pun Mamih setuju," celetuk Aneth, sedikit tidak terima.
"Lagian, Belvi itu banyak yang ngincer tau! Kalo North gak gercep. Ketikung nanti! Mamih gak mau ya punya menantu selain Belvina!"

"Iya, jangan sewot gitu. Papi ngerti kalo North tuh agak nafsuan. Asal gak kelewat batas papi fine fine aja."

Perkataan kedua orang tuanya membuat North menghela pelan.
Namun ia memilih berdiam, mengelak pun tak akan membuat kedua orangtuanya percaya. Lagipula kenyataannya memang benar begitu.

"Sekarang Papi mau nanya. Apa alasan kamu mau menikahi Belvina?"

North sedikit tertunduk, berpikir sejenak.
"Karena North gak percaya sama siapapun. Kalau bukan North, siapa yang bakal jaga dia?"

"Nah itu tuh! Bener! Kalau bukan kamu Mamih juga gak percaya sama siapapun! Lihat dong, Pih! Anaknya aja mau kok!"

Dwiartha tak mengangguk juga tak menggeleng karena alasan yang diberikan oleh North belum cukup untuknya mengiyakan gagasan itu. Ia menepuk bahu North beberapa kali sebelum berkata, "nanti Papi pikir lagi. Sana ke Belvina dulu. Sampaikan apa yang perlu kamu sampaikan."

North mengangguk. Ia berlalu dengan pikiran penuh. Jawaban sang papi membuatnya cukup termangu, bertanya-tanya.

Pernikahan memang bukan suatu hal yang mudah. Namun, tidak bersama Belvina juga bukan hal yang mudah baginya.

***

"Kompas sesat! Look at this!"

Kedatangan North disambut dengan teriakan riang Belvina. Gadis itu berdiri dengan apron yang masih menempel di tubuhnya, menunjuk masakan buatannya yang terletak di atas meja pantry dapur.

Damn, He's Hot!Where stories live. Discover now