🍬 15. Sandiwara 🍬

596 171 26
                                    

Assalamualaikum, temans, selamat malam. Aku datang tepat waktu dong, buat nganterin kesayangan kamuu🤭
.
.
Aizar memang berkata tidak menghamili Selina. Bagi Kalila, semuanya masih abu-abu, begitu pula status pernikahannya. Tidak ada kejelasan apa-apa dari bibir suaminya menyangkut fakta kehidupan pernikahan mereka.

Di sini, Kalila hanya bisa diam. Tidak ada yang bisa dilakukannya karena Indri yang terus menunjukkan ketergantungan padanya. Melibatkannya dalam segala urusan dan tak pernah membiarkannya sendirian. Pikirannya seolah tak diizinkan untuk memikirkan hal buruk mengenai Aizar.

Menjelang sore, keluarga akan pergi arisan ke rumah saudara tertua Indri. Bukan hanya arisan, itu merupakan acara kumpul-kumpul yang diselenggarakan setiap empat bulan. Sebenarnya, Kalila enggan pergi, tetapi kata "harus" yang dikeluarkan mertua membuatnya tak berkutik.

"Nanti, kamu jangan jauh-jauh dari Mama, Kal!" kata Indri sebelum berangkat.

"Iya, Ma."

Selalu seperti itu, Indri mengikatnya dengan rasa kasih lembut dan tak bisa ditolak Kalila. Mau membicarakan masalah rumah tangga rasanya tidak mungkin. Mana tega Kalila memberi luka pada orang sebaik itu?

"Hayoo ... siapa yang belum kenal sama Kalila?" Indri langsung mengenalkan Kalila pada keluarga besar. "Yang nggak bisa dateng pas acara nikahan Aizar kudu maju!"

Kalila diserbu puluhan orang yang menyalami dengan senyum lebar. Dia tidak ingat satu per satu namanya, tetapi akan ingat wajahnya dengan baik. Sepupu Aizar dari keluarga Indri memiliki wajah-wajah khas yang entah diwarisi dari siapa, tetapi terlihat mirip di antara satu dan lainnya.

Aizar duduk di samping Kalila. Tangannya membawa puding lumut dalam mangkok kaca serta sendok kecil untuk memakannya. Pandangannya lurus pada istrinya.

"Buatmu!" Aizar memberikan pudingnya untuk Kalila.

"Duh, romantisnya, Mas." Salah satu sepupu Aizar berkomentar. "Nggak sekalian disuapin?"

Kalila merasa wajahnya memanas. Akhirnya dia merasa diperlakukan sebagai istri. Meskipun Aizar pasti pura-pura, tetapi yang sedikit ini cukup menyenangkan.

"Bisa makan sendiri," lirih Kalila. "Lagian, malu ...."

Sorakan dan godaan kembali terdengar. Apalagi saat Aizar duduk di sampingnya setelah menarik tangan salah satu sepupu, kemudian mengusirnya dengan wajah serius yang dibuat-buat.

"Mesra sekali, Mas, sampai nggak rela Mbak Kalilanya dekat orang lain."

Aizar tersenyum tipis. "Maklumin saja! Masih pengantin baru."

Ucapan yang terdengar wajar seandainya Kalila mengalami pernikahan yang baik. Dia tidak tahu bagaimana suaminya bisa bersandiwara sejauh itu. Semua orang bahkan tertipu oleh kepiawaian Aizar.

"Kamu mau makan apa lagi?" Meskipun tak menyebut namanya, tetapi posisi Aizar yang mendekat padanya sungguh mencerminkan bahwa pernikahan mereka baik-baik saja.

Kalila menggeleng. "Ini sudah cukup," katanya. Tak akan dia biarkan dirinya terseret ke dalam sandiwara Aizar dan menjadikannya bahan olokan di rumah nanti.

"Kalila!" Suara Budhe Anis terdengar keras. Kalila segera berdiri setelah melihat anggukan beliau.

"Ya, Budhe?" Kalila duduk di samping Budhe Anis setelah dipersilakan.

"Ini loh, kado nikahan dari sepupumu." Budhe Anis memakaikan gelang di tangan Kalila. "Jangan dilihat nilainya. Kalau menurutmu kurang bagus, nanti bisa minta Aizar membelikannya. Sekalian dengan berlian."

"Terima kasih, Budhe." Kalila menatap pergelangan tangannya yang sudah dilingkari gelang emas cantik. "Kalila—"

"Jangan bilang ngerasa nggak enak!" Budhe Anis seperti bisa menebak pikiran Kalila. "Di keluarga ini biasa memberikan hadiah untuk para menantu perempuan. Apalagi, Aizar adalah anak pertama Indri yang menikah."

Kalila mendengarkan dengan saksama cerita Budhe Anis. Sudah menjadi seperti kewajiban untuk patungan dan membeli kado dan diserahkan kepada saudara yang menikah. Nanti, dia juga akan diminta hal yang sama saat ada yang menikah.

"Sudah belum perlunya Budhe dengan istri Aizar?" Aizar menggeser posisi budhenya dari samping Kalila.

"Baru sebentar, Zar!" Budhe Anis menepuk bahu Aizar. "Memang beda, ya, kalau pengantin baru. Nggak rela bener berjauhan."

"Dari tadi itu, Budhe. Mas Aizar nggak ikhlas jauh-jauhan dari Mbak Kalila."

"Bisa mengambilkanku makan, Istriku?"

Meskipun tahu kalau yang dilakukan Aizar hanyalah pertunjukan kemesraan, wajah Kalila tetap memanas. Dalam mimpi sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapat perlakuan sedemikian manis. Tangan suaminya bahkan terulur untuk membantunya berdiri.

"Mas Aizar ... diam-diam sangat romantis."

"Aku mau dijodohkan kalau dapatnya bisa seperti Mbak Kalila."

"Mau, dong, dapat jodoh yang manisnya seperti Mas Aizar."

Sebentar saja, perlakuan manis Aizar pada Kalila menjadi pembicaraan di keluarga. Pencitraan yang bagus dan sukses. Menghadiri acara seperti ini membuat Kalila merasa tidak pantas.

"Kal?" Aizar mengulang panggilannya, "atau kamu mau kita duduk berdua saja?"

Kalila bangkit dan kabur menuju meja di mana semua hidangan disiapkan. Para saudara meledek bahwa dirinya kabur karena tak ingin Aizar melampaui batas. Sisi yang tak semua saudara tahu kalau suaminya bisa seperti itu.

Kalila mendengkus pelan. Para saudara terkecoh oleh perilaku manis Aizar, tetapi dirinya tidak. Untuknya, pria itu tak ubahnya bagai serigala berbulu domba.

Kalila berpikir kalau dirinya harus menarik semua pikiran dan prasangka buruk. Sepanjang acara, Aizar terus berada di sisinya. Memperkenalkannya kepada seluruh kerabat dengan senyum yang tak pernah lekang. Pria itu juga terlihat bahagia.

Seandainya, sedikit saja Aizar tersenyum di hari pernikahan mereka, tentu Kalila bisa merasakan gelembung-gelembung bahagia di hari itu. Bukannya terkejut dan bertanya-tanya akibat ulah suaminya. Bertanya-tanya apakah pernikahan mereka adalah kesalahan perjodohan.

"Mbak Kal, dipanggil Budhe Indri." Salah satu sepupu Aizar mencolek Kalila, mengabaikan Aizar yang menyorot tak suka karena gangguan itu.

"Nanti dulu!" Aizar menarik lengan baju Kalila supaya tetap duduk, sementara dirinya melanjutkan obrolan dengan sepupu.

Kalila tidak keberatan. Meskipun tidak sepenuhnya mengerti pembicaraan Aizar, dia tidak masalah menunda sebentar panggilan mertuanya. Namun, ketika lama suaminya tidak bangkit, mau tak mau dirinya harus menginterupsi.

"Apa?" Kali ini, Aizar sangat peka dan ramah.

"Mau ke tempat Mama," kata Kalila pelan.

"Biar saja!" sahut Aizar cuek. "Kamu nggak bosan di dekat Mama terus?"

"Takutnya, Mama beneran butuh Kalila, Mas. Nggak enak badan atau tensinya naik, mungkin ...."

"Nggak akan," cetus Aizar, "kalau memang tensinya naik, pasti sudah izin pulang. La ini ... Papa saja juga santai ngobrol dengan Pakde dan Om di pojok sana." Aizar menunjuk keberadaan Bagus yang memang terlihat asyik dalam pembicaraan.

"Tapi, Mas ...."

"Duh, beruntungnya Mas Aizar." Satu sepupu memuji. "Istrinya baik, perhatian lagi sama orang tua. Kalau ada yang begitu, aku mau, Mas."

"Nggak ada," tukas Aizar cepat, "yang begini sudah sold out. Ini yang terakhir."

"Bucin banget dia sama kamu, Mbak Kal."

Kalila tersenyum mendengar gurauan itu. Benar kata Aizar, yang seperti dirinya memang tidak ada. Perempuan bodoh yang menerima semua perlakuan buruk suami tanpa protes. Yang lain akan pergi di detik pertama saat diperlakukan dengan tidak sopan. Bukannya bertahan dalam pernikahan tanpa cinta dan tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Sebenernya, pengen demo kelakuan Aizar😷😷

Love, Rain❤

Tak Seindah Lagu CintaWhere stories live. Discover now