🍬 9. Salah Paham 🍬

646 157 31
                                    

Pagi, temans. Mumpung saia libur, sekali-kali Kalila update pagi yakk ....

Kalila mengamati tumpukan bajunya yang tak seberapa. Hanya menempati satu rak di lemari besar Aizar. Tak ada lagi barang yang dimilikinya di sini selain beberapa produk perawatan kulit yang dia letakkan di kamar mandi.

Bapak …. Kalila hanya bisa memanggil bapaknya dalam hati. Kata orang, jodoh adalah cerminan diri. Kemudian, bagian mana dari Aizar yang merupakan cerminan dirinya? Pria itu bahkan tidak ada kemiripannya sama sekali dengannya. Sikap mereka berbeda 180 derajat. Tidak ada kesamaan sedikit pun yang bisa dijadikan untuk pembenaran istilah jodoh.

Di rumah ini, tidak ada yang Kalila beli selain kebutuhannya yang memang penting. Dirinya tak menyusahkan mertuanya. Apalagi suaminya yang terhormat dan jauh dari kata ramah.

Kalila tertegun dengan pemikirannya. Dia sombong dengan mengatakan bahwa tidak merepotkan mertua. Ya Allah … itulah keburukannya. Kalila kembali menangis, menyesali betapa tidak baik dirinya sudah menuduh Aizar yang tidak-tidak.

"Kal … dipa …." Aizar masuk kamar, tetapi ucapannya terhenti. Seperti bukan suaminya saja. Biasanya juga langsung ngomong pada intinya apa pun yang sedang Kalila kerjakan.

"Ya, Mas?" Kalila menutup lemari dan pura-pura merapikan tempat tidur setelahnya. "Apa yang Mas Aizar butuhkan?" Mengendalikan tangis sudah menjadi keahlian Kalila sekarang. Posisinya yang membelakangi Aizar membuatnya mudah untuk mengusap pipi dan mengeringkan air mata.

"Dipanggil Mama." Tumben lembut. Biasanya, Aizar akan memakinya jika Indri butuh sesuatu dan dia ada di kamar.

"Iya." Kalila melipir menuju pintu. Sebisa mungkin tidak menampakkan wajah pada Aizar.

Sambil berjalan, Kalila menepuk-nepuk pipinya. Berharap apa pun yang ada di sana akan kelihatan baik-baik saja di depan mertuanya. Sampai di dasar tangga, Kalila melirik cermin kerang yang memang dipasang di sana. Selain sebagai hiasan, benda itu juga berfungsi untuk mirik penampilan saat mau pergi beraktivitas.

Wajahnya terlihat baik-baik saja, pikir Kalila. Hanya terlihat sedikit merah muda di pipi dan sedikit bagian hidung. Tak masalah, masih terlihat wajar baginya.

"Mama cari Kalila?" tanya Kalila setelah duduk di samping Indri di ruang tengah. 

"Isah bilang, kamu belum makan dari pagi. Kenapa? Nggak enak badan? Pusing? Mual?" berondong Indri tanpa peduli Kalila akan menjawab satu per satu atau tidak.

"Kalila sehat, Ma." 

"Terus, kenapa nggak mau makan?" Tampaknya Indri tidak mau menyerah atas rasa ingin tahunya.

"Tadi pagi, Kalila beli bubur campur di pasar. Mbak Isah juga. Rasanya masih kenyang sampai sekarang."

"Kenyang apa?" Indri berdecak tidak suka. "Kamu laporan belanja saja uang kembaliannya klop, kok. Nggak ada itu bilang-bilang beli bubur campur. Pakai uang siapa?"

Kalila tersenyum. "Ya pakai uang Kalila, Ma."

"Kamu nggak menghargai Mama? Dibawain uang lebih malah pakai uang sendiri untuk beli ini itu. Berapa, sih, harga semangkuk bubur campur?"

Kalila tidak menyangka Indri begitu tersinggung dengan apa yang dilakukannya. Bukan begitu maksudnya. Dia belum beli apa-apa saat itu dan menuruti perutnya yang mendadak meronta.

"Suara Mama kencang sekali, loh. Kedengaran sampai depan." Bagus muncul sambil meletakkan tas di meja. Kalila bangkit hendak membuatkan kopi.

"Nggak usah." Indri menahan tangan Kalila supaya tetap duduk di sisinya. "Tolong kopi untuk Bapak, Sah!" perintahnya halus dan didengar oleh Isah yang sedang menggoreng ikan."

Tak Seindah Lagu Cintaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن