🍬 3. Alergi 🍬

655 166 19
                                    

Malam, temans. Numpul, hyuk! Aizar sudah datang menyapa.

Tinggal di rumah mertua nyatanya tak seperti yang dibayangkan Kalila. Sikap Aizar tetap jauh dari kata ramah meskipun seluruh anggota keluarga berperilaku baik, sopan, dan toleran. Satu atau dua kali dia pernah menatap wajah suaminya dalam tidur. Rupawan, pujinya dalam hati meskipun sikapnya tak sebaik parasnya.

Kalila mungkin salah. Sikap Aizar bukannya tak serupawan wajahnya karena untuk semua orang, pria itu sempurna. Pembawaannya menyenangkan meskipun tak mengumbar senyum. Setidaknya, orang akan terkesan dengan keramahannya.

"Kenapa Mas Aizar nggak suka saya?" Kalila mencoba membuka pembicaraan pada suatu malam, seminggu setelah tinggal di rumah besar mertuanya. "Salah saya apa?"

Tinggal dalam satu kamar, tetapi tidak ada komunikasi apa-apa. Sungguh, jika tidak berusaha maka Kalila tidak akan mengerti apa yang terjadi. Sakit hati sekarang atau nanti, hasilnya sama saja. Sejak awal, dirinya tak pernah merasakan bahagia seperti yang seharusnya.

"Salahmu adalah karena kau bukan mempelai yang kuinginkan."

Tidak diinginkan? Bagaimana mungkin? Semua orang mengatakan bahwa Kalila adalah gadis beruntung yang dilamar pria tampan dengan pekerjaan mapan. Namun, apa yang terjadi ini sungguh di luar harapan.

"Tapi, pernikahan kita itu …." Kalila menutup mulut setelah melihat tatapan tajam Aizar. Sorot penuh permusuhan di mata itu menerbangkan seluruh keberaniannya.

"Tutup mulutmu karena aku harus istirahat!" Aizar naik ke tempat tidur dan berbaring membelakangi Kalila setelah mematikan lampu. 

"Mas …."

"Tidurlah!" Suara Aizar terdengar jengkel. "Omonganmu nggak ada gunanya."

Kalila mematikan lampu, lalu berbaring di samping Aizar. Dalam gelap, dia menarik selimut dan menutupkannya ke mulut. Tangannya menekan benda itu supaya tangisnya tak terdengar Aizar.

Rasanya sakit sekali. Sesak mendengar kata demi kata yang dari bibir Aizar. Entah bagaimana hari-harinya ke depan jika keadaan terus seperti ini.

"Cengeng!" omel Aizar. "Urus tangismu dan jangan sampai mengganggu tidurku. Memangnya kau tak pernah diajarkan untuk mengendalikan diri dan toleransi? Menyebalkan sekali."

***

"Suruh Aizar untuk cepat sarapan, Kal!" ponta Indri begitu Kalila masuk ruang makan yang jadi satu dengan dapur. "Masmu itu nggak suka kalau nasi goreng seafood-nya dingin atau dipanaskan dua kali."

Niat hati Kalila ingin mengerjakan sesuatu untuk menghindari Aizar, ini malah diminta untuk terus bersinggungan. Malas sekali rasanya. Lagi pula, bagaimana caranya berkomunikasi tanpa sakit hati?

"Kal?" Indri menepuk halus lengan Kalila. "Disuruh panggil Aizar kok bengong."

"Iya, Ma."

Tak ingin menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, Kalila mengangguk dan berlalu. Lanhkahnya memelan saatcpintu kamarnya sudah dekat. Tangannya ragu menarik gagang pintu. Di balik benda itu, Aizar pasti akan menyorot sebal atau bahkan marah karena terganggu.

Kalila sudah hampir menyentuh pegangan pintu ketika benda iti terbuka. Aizar menatapnya dingin dan berlalu ke ruang makan tanpa menyapanya. Kecewa dengan sikap suaminya, tetapi itu lebih baik daripada mendengar kata-kata tajam.

Setelah mengekori Aizar ke ruang makan, Kalila berdiri di dekat kompor dan mulai meracik kopi. Sementara menunggu air mendidih, tangannya memindahkan nasi goreng ke mangkuk besar, lalu meletakkannya di meja. Tak lupa acar mentimun dan cabe yang sudah disiapkan Indri.

"Kamu kenapa nggak makan juga, Kal?" Indri menghentikan kunyahannya sebentar. "Kalau nggak selera, kamu bisa makan roti."

"Kalila nggak ada masalah dengan menu sarapan, Ma." Seolah membuktikan ucapannya, Kalila mulai mengambil dalam porsi sedikit dan mulai menyuap.

Hal yang dilupakan Kalila adalah bahwa dirinya alergi udang. Belum habis nasi goreng yang diambilnya, beberapa bagian tubuhnya mulai gatal di beberapa tempat. Berusaha untuk mengabaikan reaksinya, Kalila mengambil segelas teh hangat. Keringat dingin mulai mengucur.

"Kal, kamu alergi udang, Kal?" Suara Indri terdengar panik.

"Enggak, kok, Ma." Kalila mulai menggaruk beberapa bagian tangan dan lehernya. Perutnya mendadak mual dan fokusnya perlahan turun.

Kalila tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia hanya sempat mendengar teriakan Indri pada Aizar yang entah mengatakan untuk ke kamar, jangan diam saja dan entahlah. Dirinya cuma sempat menyadari bahwa ada tangan yang menyambarnya dan membawanya pergi.

Apa yang terjadi kemudian adalah Kalila mendapati diri sudah membaik dan bersandar di tempat tidurnya. Indri duduk di sampingnya dengan tatapan cemas sementara tangan mereka saling menggenggam. Napasnya terembus lega, setidaknya ada mertua perhatian yang menemani dan bukannya Aizar, si galak tak kenal toleransi.

"Kamu sudah baikan, Kal?" Bahkan suara Indri pun bergetar.

"Ma, maaf merepotkan de—"

"Merepotkan apa?" Indri terdengar tak terima. "Mestinya kamu bilang kalau punya alergi. Ibumu pernah ngomong, tapi Mama lupa."

"Tapi—"

"Merasa nggak enak?" Seolah mengerti, Indri lagi-lagi memotong kalimat Kalila. "Jangan sungkan begitu! Mama ini, sama dengan ibumu. Mama juga nggak beda-bedakan antara menantu sama anak sendiri. Semuanya sama."

Kalila mengangguk setelah melepaskan senyum. Senyum yang lekas pudar begitu Aizar masuk kamar membawa gelas di tangan. Sorot matanya tetap tidak ramah, apalagi Indri sedang tidak memperhatikan.

"Ini, Kal!" Indri menerima gelas dari tangan Aizar, lalu memberikannya pada Kalila. "Mama minta Isah buatin air lemon dan jahe."

"Makasih, Ma."

"Sudah tahu alergi, masih aja ngelanggar. Ngerepotin, tahu …." Seperti biasa, Aizat tidak pernah ada ramah-ramahnya. 

"Zar, istrimu berusaha nyenengin mamamu. Makanya dia sampai nggak mikirin diri sendiri."

Kalila bersyukur Aizar tidak membantah ucapan mamanya. Bagaimanapun, dia selalu memegang prinsip bahwa tidak baik bagi seorang anak membantah ucapan orang tua. Salah atau benar, orang tua tetap harus dihormati. Pantang baginya untuk membantah atau membela diri meski dirinya benar.

"Maafin Kalila, ya, Ma?" Kali merasa bersalah. Maksud hati membahagiakan orang tua, tetapi justru merepotkan keluarga barunya.

"Jangan terlalu dipikirkan, Kal!" Indri menarik selimut untuk menutup tubuh menantunya sebatas pinggang. "Istirahat saja. Nggak usah bantu-bantu Mama. Hari ini, biar Idah saja yang masak."

Indri bangkit dan berlalu dari kamar putranya. Tinggallah Kalila yang dihujam tatapan penuh permusuhan dari suaminya. Dia tahu, pria itu tak akan melewatkan kesempatan untuk menyalahkannya. 

"Dasarnya merepotkan, pasti akan merepotkan terus," omel Aizar.

"Maaf, Mas," cicit Kalila seraya menunduk sambil meremas tangan di pangkuan. "Saya nggak ada maksud untuk merepotkan."

"Nggak ada maksud, nggak ada maksud. Makanya, mikir itu pakai otak, bukan pakai dengkul."

Kalau kalimat itu keluar dari mulut orang lain, Kalila mungkin tidak akan terlalu ambil pusing. Namun, ketika kata itu meluncur dari mulut Aizar, rasanya seperti panah yang tertancap di dada. Selain sakit dan perih, pandangannya pun memburam oleh air mata.

"Bisanya cuma nangis. Cengeng amat jadi perempuan. Heran, masa kecilmu nggak puas nangis, ya?

Mau dikendalikan seperti apa pun, Air mata Kalila bukannya surut, tetapi malah semakin bercucuran. Rasanya sedih sekali. Seumur hidup, tidak pernah bapak dan ibunya berteriak atau berbicara kasar. Mereka terbiasa dengan percakapan pelan dan lembut.

"Terserah kalau mau terus menangis," kata Aizar tanpa belas kasih. "Awas saja kalau sampai Mama ngomelin aku gara-gara bocah sepertimu."

Siapa yang suka diajak ribut cem Kalila begitu? Komenin yang banyak dong, biar semangat ngetiknya akutuu😁

Love, Rain❤

Tak Seindah Lagu CintaWhere stories live. Discover now