O8. Aldebaran Delphinus de Lynx

14.1K 1.5K 69
                                    

Familyship & brothership

.

Aldebaran melangkahkan kakinya dengan santai menuju kelasnya. Namun ingatannya kembali mengulang apa yang dikatakan Auriga tadi malam bahwa ayahnya terlihat sudah berbeda dari biasanya, mata yang tajam itu kini berubah menjadi binar sendu. Apa ayahnya sudah berubah? Atau hanya untuk menutupi rangkaian rencana pembunuhan adiknya? Entahlah dirinya bingung sekarang.

Sejak dulu ia sangat ingin diperhatikan oleh ayahnya, ia berpikir untuk bersikap seperti Auriga yang selalu berusaha mengobrol dengan sang ayah namun sayangnya berakhir dengan bentakan, atau Auriga yang selalu terlihat sempurna di bidang akademik mau pun non-akademik untuk menarik perhatian Alynx? Tapi jika Auriga saja yang notabenya lebih banyak prestasi dari pada dirinya saja masih belum membuat ayahnya menoleh kearah Auriga, sudah dipastikan dirinya tak ada harapan.

Terkadang ia merasa kesepian, Auriga yang sibuk dengan meraih prestasi sebanyak-banyaknya, Acrux yang bolak-balik ke luar negeri untuk memenuhi perintah ayahnya, dan kakak kembarnya yang jarang pulang. Walau pun pulang, ketiganya datang sore hari, esok harinya pagi-pagi sudah berangkat lagi ke markas. Jadi waktu berkumpul hanya sesingkat itu.

"Ekhem,"

Suara deheman itu membuat Aldebaran menghentikan langkahnya, ia membalikkan badannya ke arah belakang. Di sana berdiri beberapa murid yang satu jurusan seperti dirinya namun beda kelas.

"Selamat pagi, Tuan muda Aldebaran yang cacat," sapa seorang pemuda yang berdiri paling depan dengan seringai khasnya yang terpampang di wajah tampannya, dia Deo.

Aldebaran hanya menatap datar Deo, ia sudah terbiasa dengan Deo yang selalu mengusiknya, "Maksud lo apaan?"

Deo terkekeh lalu menatap Aldebaran dengan tatapan remeh, "Kurang jelas? Lo itu keturunan Lynx yang cacat, yang gagal. Lo itu gak sama dengan saudara lo yang lain."

Teman-teman Deo yang lain tertawa, mereka menggangguk membenarkan ucapan Deo.

"Kalau gue jadi lo malu sih," ucap Tara, pemuda yang menjadi ketua kelas. Walau pun Tara ketua kelas, dia sama sekali tak mencerminkan ketua kelas.

"Kalau gue minggat aja gak sih?" sahut Dean dengan wajah songongnya, Aldebaran bersumpah akan menonjok wajah itu.

Deo tertawa puas dengan ucapan teman-temannya ini, bangga dia punya teman seperti Tara dan Dean, "Atau enggak ngebuang nama Lynx jauh-jauh, soalnya gak cocok."

Mereka kembali tertawa puas seakan ucapan yang mereka ucapkan adalah ucapan biasa. Nyatanya ucapan mereka dapat membuat orang merasa down. Memang banyak orang yang terlihat biasa saja, bahkan tertawa ketika diejek 'bodoh' oleh temannya, walau terlihat hanya candaan tapi ada rasa 'nyes' gitu dihati, dan itu gak enak banget.

Aldebaran mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya yang bisa kapan pun meledak. Apakah mereka tidak bercermin kalau mereka adalah manusia gagal? Gagal menjadi manusia yang memanusiakan manusia.

Entah kenapa Aldebaran merasa jika dirinya ada yang salah, ada perasaan yang mengganjal dihatinya. Ia rasanya ingin menangis, sesak. Dirinya merasa sakit hati ketika orang lain mengatainya orang yang cacat dan gagal.

"Berasa sempurna lo?" Tanya Aldebaran dengan suara beratnya. Matanya berkilat memancarakan amarah, kesedihan, sakit yang tercampur menjadi satu.

Deo tertawa sinis, "Oh berani jawab ternyata?"

Aldebaran semakin mengeratkan kepalan tanggannya sampai darah merembes keluar karena telapak tangannya terkena kukunya yang belum dipotong, "Lo itu cuma anak yang sembunyi di balik punggung orang tua lo, jadi jangan sok keras!"

ALTAIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang