Bab 7: Amukan dan Kenangan Buruk

1 0 0
                                    

Aku dan anak bernama Nagisa tadi hanya bisa tertegun dengan mata melotot horor ke arah jurang, tempat anak berambut merah dengan nama Akabane Karma itu menjatuhkan diri. Rasa takut, khawatir, dan marah bercampur menjadi satu di kepalaku, rasa-rasanya aku ingin menangis sekarang.

Bukan karena aku cengeng, hanya saja kenangan saat aku masih melakukan tanggung jawabku sebagai anggota khusus kemiliteran melintas begitu saja di kepalaku. Lebih tepatnya, kejadian dimana aku gagal untuk menyelamatkan seseorang yang dijadikan sandera oleh target yang aku incar, dan karena kecerobohanku, aku malah membuat target dan sandera yang berdiri di bibir jurang terjatuh, membuat keduanya langsung tewas di tempat.

Sedangkan aku yang berada di depan keduanya saat itu hanya bisa berdiri termenung tanpa mampu melakukan apapun. Dan kini kejadian yang sama terulang kembali, anak merah menyebalkan yang kini menjatuhkan dirinya di jurang, tanpa aku yang bisa melakukan apapun.

"KARMA!" Teriakku lagi masih dengan mata yang melihat ke arah jurang tadi, tetapi karena rimbunan pohon aku jadi tidak bisa melihat tubuhnya lagi, membuat segala macam pikiran negatif menyeruak masuk ke dalam kepalaku.

Perlahan tapi pasti pandanganku semakin mengabur akibat air mata mulai memupuk, dan akhirnya mengalir keluar dengan derasnya. Hampir saja aku ikut melompat ke jurang itu, sebelum sebuah tangan meraih pundakku.

"Seina-chan, tenanglah, Koro sensei sudah menyelamatkan Karma," ucap Nagisa dengan tatapan khawatir yang terarah padaku.

Aku yang mendengar itu pun, langsung melihat ke bagian belakang anak berambut biru itu, dan dapat aku lihat si gurita kuning dan siluman tomat yang tengah menatapku, gurita kuning dengan pandangan khawatir, dan anak yang baru saja melompat tadi yang menatapku bingung.

Tanpa bisa kukendalikan, aku langsung berjalan ke arah siluman tomat tadi, mata yang menatap tajam ke arahnya, dengan langkah kaki yang tergesa-gesa, dan saat sampai di depannya tanpa membuang waktu aku langsung memukul kepalanya dengan keras.

"Kalau kau ingin mati bilang, biar aku yang membunuhmu di sini. Tidak perlu berbasa-basi dengan memberi pertanyaan pada sensei seperti tadi," ucapku dengan tangan yang kini berganti menarik rambutnya dengan penuh emosi.

"Aghh, lepaskan, ini sakit," erangnya kesakitan yang tentu saja aku abaikan, tetapi saat aku ingin memukulnya lagi, tentakel berwarna kuning sudah lebih dulu menahan tanganku, membuatku tidak bisa mengayunkan pukulanku lagi padanya.

"Seina-chan tenanglah. Karma-kun sudah mengakui kesalahannya tadi saat sensei menangkapnya di bawah," ucapan yang keluar dari Koro sensei untuk menenangkanku itu, tentu saja tidak mempan.

Tindakannya yang memicu salah satu kenangan buruk yang sangat ingin aku kubur itu, membuat emosiku meluap. Frustasi, keputusasaan, dan kekecewaan pada diri sendiri karena hanya bisa menonton, membuatku tidak berdaya, perasaan-perasaan itu seolah membelengguku pada suatu tempat gelap dengan berbagai penyesalan di dalamnya.

"Tidak sensei, lepaskan aku, biarkan aku membunuh anak itu."

Mengamuk, yah itulah yang aku lakukan sekarang, emosi yang sudah tidak bisa aku bendung lagi membuatku terus memberontak dalam kuncian tentakel Koro sensei, aku bahkan tidak peduli jika nanti tanganku akan lecet karena gesekan terus menerus dengan tentakel dari gurita kuning itu.

Karena yang ada pada pikiranku saat ini hanyalah, memukul idiot berkepala merah yang sudah berani membahayakan nyawanya sendiri. "Lepaskan aku!" teriakku lagi, dengan mata menyorot tajam, yang sialnya masih dialiri air mata.

Aku yang terus mengamuk, membuat pegangan tentakel Koro sensei, semakin melonggar membuatku dapat melepaskan tanganku dengan mudah. Namun, saat aku ingin menghampiri bocah merah tadi lagi, tengkukku tiba-tiba saja dipukul dengan keras, membuat pandanganku langsung berganti menjadi gelap.

***

"Dimana ini?" gumamku saat terbangun di tempat dengan hamparan rumput yang luas, namun jika diteliti lagi, bagian ujung dari tempat ini memiliki jurang yang curam, apalagi dengan hari yang sudah gelap, dengan hanya bercahayakan sinar bulan, akibat bintang yang terlalu malu menampakkan wujudnya.

"Tunggu, tempat ini kan–" gumamku terhenti saat mendengar suara lemah anak-anak yang meminta tolong.

Dan saat aku mendapati sumber suara itu, dapat aku lihat seorang anak kecil yang menjadi tawanan seorang pria tua dengan pistol yang ditodongkan ke arah kepala anak tadi. Sedangkan di depan kedua orang itu berdiri, sosok perempuan dengan pakaian berwarna hitam pekat, yang selaras dengan rambut dan juga iris matanya, dan kini tengah memegang pistol di tangannya.

"Sialan," desisku, saat menyadari jika sosok perempuan tadi adalah diriku sendiri, dan kejadian di depan ini adalah ingatan saat aku tidak bisa menyelamatkan mereka berdua.

Dorr

Bunyi tembakan itu membuatku tersadar dari lamunanku, membuatku kembali melihat ke depan, dimana target yang kakinya sudah tertembak peluru menjadi oleng, dan jatuh ke jurang dengan anak tadi yang dibawanya untuk terjun, sedangkan aku yang disitu hanya diam membeku sebelum berlari dan berteriak memanggil target dan anak tadi.

"TIDAK."

Aku terbangun di tempat dimana kegelapan tadi menyapaku, sebuah halaman luas dengan rumput sebagai landasannya.

"Seina-chan, kau baik-baik saja?" tanya anak berambut biru, membuatku sadar jika aku sudah kembali dari ingatan buruk itu.

"Yah, aku baik-baik saja," balasku masih dengan nafas yang sedikit tercekat, belum lagi dengan keringat yang aku yakin tengah bercucuran dari dahiku. "Hanya mimpi buruk," lanjutku saat melihat ekspresi Nagisa yang kurang yakin dengan jawabanku barusan.

"Seina-chan, sensei minta maaf karena membuatmu pingsan. Sensei hanya tidak mau kau kehilangan kendali."

Suara cempreng yang berasal dari sampingku, membuatku langsung melihat ke arah Koro sensei yang kini memasang wajah menyesal, membuatku sedikit tidak tega melihatnya.

"Yah, tidak masalah. Jika sensei tidak melakukan itu, aku pasti benar-benar akan membunuh siluman tomat tadi," ujarku ringan dengan sebuah senyum tipis diwajahku.

"Apa kau sangat ingin membunuhku?" ucap seseorang yang berasal dari belakangku, membuatku langsung membalikkan badan menghadap ke arah suara tadi.

Dan yah, dapat aku lihat siluman tomat yang tengah melihatku dengan pandangan bingung, dan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya.

"Ya, dan jika kau melakukan itu lagi, aku akan benar-benar membunuhmu bahkan meski kau sudah mati," balasku dengan tatapan tajam ke arahnya, yang hanya dibalas dengan senyum remeh dari anak tadi. Seolah meragukan perkataanku yang ingin membunuhnya.

"Aku tidak tahu jika kau sangat mengkhawatirkanku, lihat saja wajahmu yang sembab itu," balasnya dengan nada mengejek, yang hanya aku balas dengan tatapan malas.

Menghela nafas pelan, aku pun berdiri dan berjalan ke arahnya, dan saat kami sudah berhadapan.

Pletak

Suara yang ditimbulkan dari aku yang menjitak kepalanya membuat anak itu kembali mengaduh sakit, namun sebelum dia bisa protes, aku sudah lebih dulu memotong ucapannya.

"Jangan mati dulu," ucapku dengan kepalan tanganku yang masih berada di atas kepala merahnya itu, yah meski lumayan sulit untuk mempertahankan posisi ini, karena perbedaan tinggi badan kami berdua, membuatku harus berjinjit untuk menggapai kepalanya.

Aku sudah membayangkan jika anak di depanku ini akan tersenyum remeh lagi saat aku mengatakan itu, tapi yang kudapatkan hanyalah sebuah tatapan yang tidak aku ketahui artinya.

"Kenapa?" tanyanya masih dengan pandangan tadi, aku yang mendengarnya langsung menarik tanganku dari kepalanya, memangkunya di depan dada, dengan dua jari yang memegang dagu, berpose seolah sedang berpikir.

Sekilas, aku dapat melihat wajah Koro sensei dan Nagisa yang memerah, 'ada apa dengan mereka, apa mereka demam?' batinku bertanya. Tetapi untuk saat ini aku akan mengabaikannya dulu, karena kini aku harus menjawab pertanyaan dari siluman merah yang ada di depanku.

"Karena aku tidak ingin kehilangan satu peluang pun untuk membunuh Koro sensei dan mendapatkan 10 milyar yen," jawabku enteng dengan tangan yang mengelus puncak kepalanya singkat, sebelum melangkahkan kaki dengan ringan pergi dari sana, meninggalkan tiga orang itu dengan wajah cengo-nya masing-masing. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 09 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My UniverseWhere stories live. Discover now