Bab 5: Hukuman

1 0 0
                                    

Suasana kelas kembali hening, semuanya terlalu kaget untuk memberikan reaksi atas apa yang aku lakukan pada gurita kuning ini. Dan sepertinya, gurita ini juga benar-benar terkejut dengan apa yang sudah aku lakukan, dia bahkan tidak bergeming sama sekali meski sepuluh detik sudah berlalu, sejak aku mengacungkan pisau ke arah lehernya.

Namun sedetik kemudian, tiba-tiba saja aku sudah tidak lagi bergelantungan di tubuh gurita aneh yang kini sudah berdiri di belakang Karasuma sensei, membuatku yang tidak memiliki tempat berpegangan jatuh begitu saja ke lantai kayu yang sudah mulai termakan waktu.

Brukk

Suara yang aku timbulkan akibat terjatuh membuat anak-anak di dalam kelas terkejut, seolah jiwa mereka baru saja kembali setelah mengelana entah kemana.

"Ugh," keluhku saat merasakan sakit di bagian bokongku karena bertabrakan langsung dengan lantai kayu.

"Shimimaki-san apa kau baik-baik saja?" tanya gurita kuning itu dengan raut wajah khawatir, tetapi masih berdiri di belakang Karasuma sensei yang menatapku datar.

Aku yang mendengar pertanyaan dari gurita itu hanya tersenyum tipis, sebelum berdiri dengan tangan yang bertumpu pada meja guru. "Yah, aku baik-baik saja," jawabku seraya membersihkan bagian belakang rok yang terkena sedikit debu karena kejadian tadi.

"Tapi sensei, kau jahat sekali membuatku jatuh seperti tadi, untung saja aku memakai celana, jika tidak, aku akan benar-benar membunuhmu sekarang," tambahku saat mengingat bagaimana posisiku saat jatuh tadi yang mengangkang, kalau bukan karena aku yang memakai celana dibalik rok yang aku kenakan, pasti celana dalamku sudah terlihat.

Gurita kuning yang mendengar itu langsung menegang, apalagi saat melihatku yang menatap tajam ke arahnya, membuatnya langsung menundukkan kepala di balik punggung Karasuma sensei yang masih menjadi tamengnya.

"Huh–" dengusku kesal, sebelum kembali berujar dengan nada serius. "Tapi harus kuakui jika sensei benar-benar cepat. Dan lagi, berhentilah bersembunyi di belakang Karasuma sensei seperti itu, aku tidak akan membunuhmu." lanjutku dengan tangan terlipat di depan dada, dengan pandangan lurus ke arah gurita tadi.

"Kenapa kau tidak ingin membunuhnya?" pertanyaan yang berasal dari tempat anak-anak kelas itu duduk, membuatku langsung melihat ke arah mereka, yang kini menatapku bingung.

"Siapa yang bertanya tadi?" Selepas mengatakan itu, seorang anak berambut biru mengangkat tangannya, membuatku tahu jika dialah yang bertanya barusan.

Memangku tangan di depan dada, dengan jari telunjuk dan ibu jari yang menggenggam dagu, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan anak tadi. "Karena menurutku tidak ada untungnya bagiku untuk membunuhnya," jawabku enteng dengan bahu terangkat ringan, yang mendapat pelototan tidak percaya dari mereka.

Namun belum sempat aku bertanya, seorang laki-laki dengan rambut orange belah tengah yang duduk di depan anak berambut biru tadi, langsung berdiri dari tempat dia duduk, dengan gebrakan pada mejanya.

"Kau benar-benar bodoh yah? Apa Karasuma sensei tidak memberitahumu apa yang akan kau dapatkan jika berhasil membunuhnya?" ucapan dengan nada tidak santai yang keluar dari mulutnya itu membuatku kesal, apalagi saat aku kembali dikatai bodoh olehnya, tetapi kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya membuatku mengurungkan niat untuk menggeplak kepala anak itu.

"Tidak, Karasuma sensei tidak memberitahu apa-apa," jawabku sekedarnya, yang membuat mereka langsung melihat ke arah Karasuma sensei, dengan tatapan menghakimi.

Dapat aku lihat, Karasuma sensei yang ditatap seperti itu hanya berdehem sejenak, yang kemudian membuang mukanya ke arah lain, enggan melihat ke arah para murid di kelas ini.

"Hah, intinya kau akan mendapat uang 10 milyar yen dari pemerintah jika berhasil membunuhnya," ucap seorang siswa berambut pirang panjang.

Aku yang mendengar itu hanya menganggukan kepala, namun setelah mendengar nominal yang dia ucapkan, membuatku membeku. "10 milyar yen?" ulangku yang dibalas anggukan oleh semua siswa yang ada di sana.

Diam, hanya itu yang bisa aku lakukan saat menyadari kesalahanku barusan. "Aghh, kenapa aku tidak langsung menusuknya saja tadi," erangku tiba-tiba dengan tangan yang menarik rambutku sendiri dan kaki yang dihentak-hentakkan ke lantai, membuat mereka semua yang ada di sana kembali terkejut.

"Sudah kuduga, kau benar-benar bodoh," ucapan dengan nada menyebalkan itu kembali terdengar, membuatku langsung menatap ke arahnya dengan tatapan tajam.

"Urusai. Aku tidak bicara denganmu tomat," balasku dengan tatapan sengit ke arah orang itu.

Sedangkan orang tadi hanya membulatkan matanya tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan, dan tidak lama kelas pun kembali di isi dengan tawa dari para murid, dengan ejekan yang keluar dari mulut mereka untuk si kepala merah tadi.

"Beraninya kau memanggilku begitu." setelah berucap begitu, dapat aku lihat dia yang sudah berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menghampiriku yang ada di depan kelas.

"Kenapa? Gak suka? Lagian rambutmu yang berwarna merah itu memang terlihat seperti tomat, jadi aku tidak salah," balasku sengit dengan langkah yang juga mendekati orang itu.

"Diam. Kau sendiri tidak sadar diri, bagaimana bisa seorang siswa SMP memiliki rambut seperti nenek begitu? Apa jangan-jangan kau itu hanyalah nenek tua yang menyamar menjadi siswa SMP?" ujarnya yang kini sudah berdiri di depanku.

Yah, kini kami berdua sudah berhadapan dengan tatapan sinis yang ditujukan untuk satu sama lain, sedangkan keadaan kelas kembali hening seolah tengah menikmati pertunjukkan debat kami berdua.

"Maaf mengecewakanmu. Hanya saja rambut asliku memang berwarna putih, tapi jika kau tidak percaya, kau bebas memanggilku nenek, karena nenek tetaplah seorang manusia. Tidak sepertimu yang siluman tomat," desisku dengan tatapan yang semakin tajam ke arahnya.

Kami berdua yang sudah sama-sama termakan emosi, tidak menyadari jika kini tangan kami berdua sudah berpindah tempat ke rambut orang yang ada di depan kami. Tanganku yang berada di kepalanya, dan tangannya yang berada di kepalaku.

Namun, baru saja kami ingin saling menjambak, sebuah tentakel berwarna kuning sudah mengangkat tanganku dari kepala merah itu, begitu juga dengan sebuah tangan lain yang sudah mengangkat tangan orang itu dari kepalaku.

Dan saat melihat ke arah tarikan itu, dapat aku lihat wajah Karasuma sensei, dan gurita kuning itu yang sudah menggelap.

"Tidak ada yang boleh berkelahi di kelasku," ujar gurita kuning tadi masih dengan ekspresi wajah yang sama.

"Saya sudah bilang sebelumnya jika saya akan menghukum kalian lagi jika berdebat kan? Sekarang cepat keluar dan pergi bersihkan gudang yang ada di belakang gedung ini." perkataan yang keluar dari Karasuma sensei itu membuatku membatu.

Baru saja ingin membalas, tetapi tatapan tajam yang diberikan Karasuma sensei membuatku mengurungkan niat. Sedangkan anak tadi, dia hanya terlihat santai, seolah dia sudah biasa mendapatkan hukuman seperti ini.

Di sinilah aku, di depan sebuah ruangan berdebu dengan barang-barang yang berantakan di dalamnya, dengan seorang jelmaan tomat yang berdiri santai tepat di sampingku, masih dengan wajah menyebalkan miliknya.

"Baru juga hari pertama, udah sial aja aku," rutukku saat menyadari tidak ada yang berjalan lancar semenjak kedatanganku ke dunia ini.

Kamar tidur yang menyedihkan, orangtua yang penuh kekerasan dan tanpa kasih sayang, dan sekarang di sekolah aku harus bertemu dengan orang aneh yang berkepala merah seperti ini.

"Itu memang sudah nasibmu, jadi terima saja," ujar orang di sampingku, dan langsung berjalan masuk ke dalam gudang untuk membereskan semua barang yang berceceran di sana.

Menghela nafas pelan, sebelum aku berjalan masuk ke dalam gudang itu dan mulai ikut membereskan gudang tadi, sebelum Karasuma sensei datang dan menambah hukuman kami.

My UniverseWhere stories live. Discover now