24. Another Point of View

Mulai dari awal
                                    

"Mau jenguk Revi?" Tanyanya dengan polos membuatku kembali ke daratan.

"Hah?" Hanya reaksi itu yang bisa kuberikan.

"Lo temennya Revi, kan? Kalo mau jenguk, langsung masuk aja. Kebetulan dia lagi sendirian." Jelasnya kemudian. Aku pun menggelengkan kepala dengan cepat. Sepertinya ia sudah salah paham. Dipikirnya aku teman dari orang yang dirawat di ruangan ini? Kenal saja tidak, bagaimana bisa berteman?

"Oh, nggak. Nggak. Gue cuma kebetulan lewat doang. Gue pasien kamar sebelah." Ujarku sembari menunjuk ruangan dengan pintu tertutup rapat tepat di sebelah kanan ruangan ini dengan daguku. Laki-laki itu hanya menganggukan kepala tanda kalau ia mengerti. Karna merasa sudah tidak ada perlu lagi, aku pun memilih untuk segera beranjak dengan memamerkan senyuman basa-basi terlebih dahulu padanya.

Tanganku sudah berhasil meraih gagang pintu ketika tiba-tiba saja ia mengatakan, "Gue tau, lo sering berdiri di depan pintu kayak tadi."

Aku tertegun. Bagaimana bisa ia menyadari itu? Apa jangan-jangan aku saja yang tidak sadar kalau ada dia yang juga memperhatikan? "Gue juga tau, lo sering perhatiin cewek itu Cuma dari balik pintu doang." Balasku tanpa memandangnya. Setelah mengatakan kalimat yang entah kudapat dari mana, aku pun langsung masuk ke dalam ruanganku sendiri.

***

Aku membalas senyuman suster yang berjaga di customer service singkat. Baru saja aku selesai membayar semua biaya administrasiku selama dirawat di rumah sakit ini. Sungguh biaya perawatan yang cukup menguras isi tabungan menurutku. Tapi untungnya, isi tabunganku tidak mudah untuk dihabiskan begitu saja.

Hari ini aku sudah bisa keluar dari rumah sakit. Sebentar lagi aku harus kembali ke rutinitasku biasanya. Kerja, kerja dan kerja. Saat ini, di usiaku yang terbilang masih cukup muda, karena seharusnya aku masih mengecap bangku kuliah, sudah bisa mencari uang sendiri dari hasil jerih payahku. Aku menjadi seorang penulis novel dengan identitas misterius. Selama ini aku menggunakan nama pena K. Tidak ada yang tahu kalau K itu sebenarnya adalah aku. Hanya editor utamaku saja yang tahu. Selebihnya hanya bisa menerka-nerka siapa K itu.

Menjadi seorang penulis adalah pekerjaan yang menurutku paling santai, karna peraturan kita sendiri yang membuatnya. Yah, beda ceritanya kalau sudah memasuki deadline. Terkadang membuatku benar-benar ingin mati saja. Sejujurnya, kedua orangtuaku tidak setuju kalau aku menjadi seorang penulis. Mereka ingin membuatku bekerja seperti mereka. Menjadi orang penting dalam sebuah perusahaan. Mengingat pada saat umur 17 tahun aku sudah meraih gelar Magister di bidang Ekonomi dan Bisnis, mereka berpikir aku pasti sangat berpotensi untuk mengembangkan dan memajukan eksistensi perusahaan mereka. Ya memang selama ini aku sekolah selalu ikut program akselerasi. Tapi bukan berarti aku mau menjadi bagian dari perusahaan. Aku sudah cukup muak dengan segala macam perusahaan.

Ah, sudahlah lupakan saja kehidupanku yang sama sekali membosankan dan tidak menarik itu. Hidup dalam dunia fantasi memang yang terbaik.

Aku melangkahkan kakiku menuju ke kamarku. Masih ada beberapa barang yang belum aku bereskan. Setelah itu aku akan kembali ke rumah. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja ada segerombolan dokter dan suster yang berlari dengan terburu-buru dari belakangku. Melihat arah yang mereka ambil, sepertinya searah denganku.

"Ah, maaf." Ujar seorang suster yang baru saja menyenggol pundakku. Aku hanya bergumam tidak apa-apa dan tersenyum maklum. Setelah itu ia pergi. Tampaknya ada keadaan gawat darurat yang sedang terjadi.

Sekali lagi, aku dibuat tertegun dengan apa yang terjadi di ruangan sebelahku. Suasananya terasa panic dan tegang. Lagi-lagi aku terpaku di depan pintu kamarnya. Aku bisa melihat segerombolan dokter dan suster yang tadi sempat berpapasan denganku mengelilingi ranjang pasien. Mereka terlihat sedang melakukan pertolongan pertama. Segala macam upaya dilakukan untuk membuat gadis yang terbaring di ranjang itu untuk bangun. Dokter juga sudah menggunakan defibrillator untuk mengejutkan jantungnya. Namun sepertinya sia-sia, karna detak jantungnya tidak kembali.

The Same FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang