"Sadar Ara sadar.. kau hanyalah pembantu kumal.. Kau gak layak berekspektasi tinggi di jadikan ratu oleh Atla.. Dia, seorang Tuan muda, dunia kalian berbeda.. Selamanya kau hanya akan berperan sebagai figuran yang sama sekali tidak pernah dianggap ada.."

Tergesa keluar dari rumah, Atlantik mengejar Elara, tapi sudah terlambat. Ia tak menemukan wanita itu dimana-mana. Elara telah menghilang di sekitar sana.

Atlantik menendang udara menyalurkan emosinya, surat cerai yang ada ditangannya ia remas membentuk bongkahan dan saat selembar kertas tersebut ia banting ke tanah, Atlantik menginjak-injak penuh amarah hingga kini telah bercampur dengan debu.

"Persetan dengan perceraian! Gue gak bakal pernah mau pisah sama Ara sampai kapanpun!"

•••

Sedari tadi, Atlantik melamun di meja luar minimarket, sepulang dari kampus petang hari, Atlantik singgah sebentar di sini bersama dengan Sagara, Yesa dan Rajendra.

Mereka berada di dalam membeli sesuatu. Sedangkan dirinya, hanya berdiam diri di luar, menerawang ke depan, seperti orang yang tak ada semangat hidup.

Bahkan, sampai Sagara sudah mengambil tempat duduk di meja yang sama dengannya, perhatian Atlantik tak tercuri.

"Gar, pukul gue." Atlantik berujar tanpa melihat Sagara.

"Why?" Mengurungkan niatnya yang hendak meneguk minuman kaleng, wajah minim ekspresi milik Sagara, dibuat menoleh reflek mendengar titah Atlantik.

"Gue cowok sampah, I have hurt her. Gue menyia-nyiakannya. Sekarang kami, udah berpisah. Dia, pulang ke kampungnya. Entah, mungkin sekarang dia sudah sampai di mana. Gue harap, perjalanannya lancar, tanpa kendala."

Pada saat menaruh minuman kaleng di meja, Sagara masih terlihat netral. Akan tetapi, siapa sangka setelah itu ia gesit menendang kursi yang ditempati oleh Atlantik hingga lelaki itu jatuh bersama kursi.

Ia kembali berdiri ketika Sagara menarik kerah bajunya dan melayangkan bogeman berkali-kali diwajah rupawan tersebut, seperti permintaan Atlantik, ia melaksanakan.

Atlantik, lelaki itu hanya bisa pasrah, menerima setiap pukulannya, wajahnya terpaling kesana-kemari, sampai mulut lelaki itu mengeluarkan cairan merah kental.

Anggap saja, ini sebagai pelajaran telak untuknya, yang telah melukai dan menyia-nyiakan Istri sebaik Elara. Ini pun, masih belum bisa menebusnya.

"I hate jerks!" Geramnya.

Bugh!

"Woy! Anjirrr, Gara! Lu ada masalah apa sama Atla?!"

Kedua sohib mereka langsung keluar melihat Sagara menyerang Atlantik melalui kaca transparan, mereka berdua melerai.

"Kenapa lo nyerang Atla, man?!" Tubuh Sagara otomatis mundur beberapa langkah menciptakan jarak dari Atlantik saat Yesa mendorong dada Sagara, dan cengkeraman Sagara saat ini telah terlepas dari posisinya.

"Dia yang nyuruh." Dengan santai dirinya mengantongi kedua tangannya, Sagara menjauh dari sana ditemani aura dinginnya.

Diraihnya tangan Rajendra yang terjulur, berniat membantunya, Atlantik berdiri. "Jarang-jarang kalian berselisih kayak gini. Ah bukan cuma jarang, lebih tepatnya, gak pernah. Apa masalahnya sampe Gara yang gagu bin si kulkas sepuluh pintu itu pukul lo?"

Atlantik menyeka cairan merah yang mengalir dari hidung beserta bercak darah di sudut bibirnya. Darahnya cukup kencang, tapi mengapa Atlantik tak merasakan sakit sama sekali?

"Ini gak seberapa dibanding lukanya."

"Luka siapa?"

"Udah-udah, gak usah bertanya, Dra. Mending, lo beliin es." Yesa mendorong punggung Rajendra.

"Es apa? Es cream? Waras lu hah?! Orang luka lebam gitu masa di beliin es cream?!" Seru Rajendra.

"Otak itu di pake, dodol! Mana ada orang yang mau ngompres luka pake es cream? Goblok! Yang gue maksud itu es batu! Esmosi gue lama-lama!"

Seketika Rajendra menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Makanya, berbicara!"

Yesa menghela napas kasar lalu tersenyum paksa. "Dari tadi lu kira gua ngapain?! Main monopoly?! Perasaan dari tadi gue ngomong sampe mulut gua serasa kaku." Semprotnya.

"Oke-oke! Gak usah ngegas!" Rajendra kembali masuk ke dalam minimarket.

"Bukan temen gue, sumpah!" Yesa menggumam kesal.

•••

Ditempat lain, desiran angin menerpa paras manis itu. Rambut hitam legamnya diterbangkan oleh hembusan angin. Nampak, sosok wanita, berdiri tegak diatas sebuah jembatan, ditemani oleh kepedihan terpendam yang membungkus batinnya.

Tanpa peduli tindakan ini merupakan sebuah dosa besar, ia benar-benar tidak kuat lagi menjalani ujian berat yang menghantamnya dengan membabi buta. Ia juga manusia biasa, yang bisa lelah jika sudah berada di titik paling terendah.

"Baby..." Telapak tangannya singgah di perutnya yang telah membuncit. Binar matanya penuh kehampaan, kesedihan dan kekecewaan yang bercampur aduk.

"Maaf, kamu harus tumbuh di rahim Wanita berantakan dan gak ada kelebihan ini. Bunda rusak, sayang.. Bunda sendirian, Bunda gak punya siapa-siapa.. Bunda juga gak bisa beri baby seorang Ayah.. Ayah milih buang kita, karena Bunda yang banyak kurangnya.. Bunda gak bisa memenangkan hatinya, katanya Bunda Istri yang gak berguna.. Ini semua karena Bunda.."

Melirik kebawah, di sana hamparan air sungai mengalir deras, seolah memanggil-manggil dirinya untuk segera terjun, terbawa arus menemui maut, tidur damai, meninggalkan kehidupan yang melelahkan ini dan istirahat dalam keabadian.

"Maafkan Bunda yang gak bisa memberimu kehidupan hingga melihat semesta. Setidaknya, Bunda bisa memberimu kehidupan singkat dalam ruang hangat Bunda... Ada baiknya kau jangan melihat dunia.. Kehidupan ini gak adil pada orang rendahan seperti kita.."

"Kita pergi bareng-bareng ya..? Lagi pula Ayahmu tidak menginginkan kita, dia akan bahagia dengan kepergian kita.."

"Ucapkan selamat tinggal pada Ayah dan semesta.."

Rintik-rintik air mata menetes membasahi pipi mulus itu, biarkan alam yang menjadi saksi bisu bagaimana cara Wanita hebat ini menyerah untuk hidup. Kedua netranya ia pejamkan, ia telah mempersiapkan jiwanya terbang menghilang dari bumi ini membawa sejuta lukanya.

'Sekali lagi, maafku untuk semesta dan dia yang pernah berpesan, untuk diriku tetap bertahan hidup, tapi pada akhirnya aku memilih untuk menyerah.'

TBC..


Kira-kira gimana yah reaksi Atlantik kalo Ara bener-bener metong?

Jawabannya di next part yah.

Oh iya, berbicara persoalan next part, jangan tungguin aku update dulu, pasalnya akhir-akhir ini, gerd anxiety ku kambuh parah, jadi gak bisa berpikir jernih. Takutnya, feel-nya gak dapet dan berakhir cerita ini malah hancur kalo maksain untuk tetap nulis, mohon pengertiannya😌🖤

Maaf, part ini gaje dan kependekan, pikiran aku kurang fokus soalnya. Nanti di perbaiki lagi dan aku tebus di bab selanjutnya🙏

See you next part:>

PANGERAN ATLANTIK (SUDAH TERBIT)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें