03: Cerita Dari Tempat yang Jauh

5 4 0
                                    

"Noa, jangan jauh-jauh ya. Noa baru sembuh"

"Iya, Bu."

Akhirnya setelah beberapa hati tifak bisa keluar, Ibu mengijinkanku kembali bermain. Setelah suhu badanku cukup turun minggu lalu, Ibu memang tidak langsung mengijinkanku bermain. Padahal aku sudah merasa sangat sehat. Leta, kan, sudah menunggu.

Hari ini seharusnya kami bisa mulai menyebrangi danau. Oleh sebab itulah aku berangkat pagi-pagi sekali. Kami tidak mungkin berenang menyberang, juga tidak ada perahu di sana. Mau tidak mau, kami harus memutari danau itu, kan?

"Pagi, Leta," sapaku pada Leta yang sedang duduk di pinggir danau.

Mungkin karena ia menghadap danau dan tidak melihatku datang, ia terlihat sedikit tersentak saat aku menyapanya tadi. Dengan mata lebarnya, ia berbalik padaku.

"Ah! Noa! Kamu sudah sembuh?"

Dengan bangga, aku mengangguk sebagai jawaban. Demam seperti kemarin sih bukan apa-apa untukku. Sedikit obat dan tidur, aku sudah ada di sini.

"Leta pagi sekali sudah ada di sini," ucapku, sedikit heran lebih tepatnya. Kami tidak pernah bertemu sepagi ini.

"Oh? Iya. Aku suka duduk di sini kalau pagi. Noa sendiri tumben sekali sudah datang?"

"Kita akan ke seberang sana, tentu saja aku datang lebih pagi supaya kita bisa kembali sebelum gelap."

Mendengar itu, Leta hanya mengangguk-angguk. Sepertinya ia tidak berpikir bahwa perjalanan ini akan sedikit panjang.

"Kalau begitu, mau mulai?"

"Uhm! Ayo!"

Udara pagi yang sejuk dan semilir angin yang dingin, mengantar langkah kami mengitari danau. Apapun yang ada di seberang sana, semoga sepadan dengan rasa penasaran kami.

*****

Kami berjalan agak lama rasanya. Matahari sudah cukup tinggi di atas. Beruntung pohon-pohon di dekitar kami membuat kami tidak kenapanasan.

Lain kulit, lain perut. Sudah sejak tadi kami berjalan dan perutku sudah srmakin lapar. Salahku sendiri sebenarnya karena menolak sarapan. Untung saja Ibu masih berbaik hati membekaliku beberapa roti isi.

Leta mengajakku duduk di bawah salah satu pohon. Kami memutuskan untuk memakan bekal kami sedikit. Kami sisakan juga untuk makan siang nanti. Aku baru sadar bahwa Leta juga membawa bekal hari ini. Mungkin ia juga dibekali oleh Ibunya.

"Wah, bekalmu terlihat enak, Leta," ucapku saat melihatnya mengambil roti panggang dengan daging dan sayur di dalamnya.

"Benarkah? Rasanya sama saja seperti hari-hari sebelumnya."

"Hari-hari sebelumnya?"

"Iya, bukankah bekal memang seperti ini?" jawabnya ringan.

"Bisa, sih. Bisa juga buah-buahan. Ibu kadang memberiku sebuah pisang untuk dijadikan camilan saat bermain."

"Ada makanan lain?"

Aku yang hampir menggigit roti isi langsung berhenti saat mendengar pertanyaannya. Ada makanan lain? Pertanyaan apa itu? Tentu saja ada, kan?

"Tentu saja. Leta juga pernah memakan yang lain kan?"

Hening.

Ia hanya memandangku bingung dan kembali melihat rotinya. "Setahuku, hanya ini makanan yang pernah kumakan."

Ha? Hanya itu?

"Jadi benar ada makanan lain? Aku ingin mencobanya!"

Tiba-tiba saja Leta berseru riang seakan menemukan harta karun. Apa Leta benar-benar tidak penah memakan makanan lain selain roti panggang tadi?

"Ada baaaanyak sekali makanan, Leta. Kapan-kapan kita coba ya?"

Mendengar itu, Leta menunduk lemas. Ada apa dengannya? Sedetik yang lalu senyumnya sangat lebar.

"Aku, kan, tidak boleh pergi jauh."

Ah! Benar juga.

"Ataukah kubawakan saja?" Satu ide terlintas di otakku begitu saja. Untuk sejenak, Leta tampak memikirkan usulanku.

"Atau aku bisa ke rumah Noa. Ibu sudah pernah mengijinkanku pergi ke rumah Noa. Nanti kita biaa makan banyak macam makanan seperti yang Noa bilang. Iya kan?" tanya Leta menggebu.

"A--ah tidak bisa," sesalku. "Ibu biasanya hanya memasak satu makanan untuk satu kali makan. Jadi kita tidak bisa makan banyak jenis makanan kalau Leta ke rumahku," lanjutku kemudian.

"Begitu ya."

Suaranya terdengar lemah dan penuh akan sesal. Aku jadi merasa bersalah. Aku seperti telah melambungkan harapannya dengan tinggi, lalu menghempaskannya begitu saja.

"Tapi kalau Ibu Leta mengijinkan, kita bisa ke warung," ucapku dengan cepat.

"Warung?"

Bagus. Leta tampaknya tertarik.

"Iya. Di sana, ada paman dan bibi yang menjual baaanyak sekali jenis makanan," jelasku dengan singkat.

"Tidak hanya satu?"

Aku menggeleng sembari menjawab, "tidak. Bukan hanya itu, warungnya biasa dibuka hingga malam dan makanannya pun tidak pernah habis."

Aku ingin tertawa rasanya saat melihat mata Leta terbuka sangat lebar. Tanpa aku tanya pun, sepertinya aku tahu Leta sedang membayangkan apa.

"Tempat bernama warung ini, apakah dekat dengan rumahmu?" tanya Leta kemudian.

"Mmmm... Letaknya ada di ujung desa. Sayangnya tempatnya ada di ujung yang berlawanan dari danau," jawabku dengan suara lirih. Aku tahu Leta tidak akan dibolehkan oleh ibunya pergi sejauh itu.

Aku tahu Leta kembali kecewa. Sorot matanya kembali meredup sejenak sebelum ia kembali bersuara. "Tidak apa-apa Noa beritahu saja bagaimana di sana. Aku cukup dengan membayangkan saja. Sepertinya menyenangkan."

"Baiklah. Ada banyak sekali makanan di sana. Ada juga banyak minuman. Setiap hari orang yang bekerja di ladang selalu datang ke sana untuk makan dan bercerita. Paman dan bibi selalu memberi kami kue gratis setiap kami bermain di halamannya...."

Aku bercerita banyak hal tentang warung ini. Leta sendiri tampak antusias dengan ceritaku. Sesekali ia akan menyelaku dan bertanya tentang makanan ini dan itu. Juga tentang banyak orang datangbuntuk makan di sana.

Siang itu, kami terlalu asik mengobrol hingga tidak terasa menghabiskan bekal kami. Setelahnya pun, kami tertidur karena terlalu kenyang dan lelah. Di bawah pohon di pinggir danau. Di perjalanan menuju srberang danau.

.
.
.

[TBC]

DWC NPC 2024 Day 3: Done

[03/02/2024 - 21.37]
[848]

Shell

Are We There Yet?Where stories live. Discover now