Heart Flight ✈ Chapter 13

111 0 0
                                    


“ Gimana kabar nyokap lo? Udah mendingan? “

Hanif meletakkan satu keranjang buah-buahan ke atas meja, kemudian menghempaskan tubuhnya di sofa milik Jihan seolah itu adalah rumahnya. Sofa yang empuk itu sudah lama tak dirasakan oleh pantatnya. Terakhir kali ia mendudukkan diri disana adalah ketika SMA.

Meski bukan tetangga yang tinggal di sebelah rumah, tetapi Hanif cukup sering bertamu ke rumah Jihan. Ia rindu setiap kali ibu Jihan mengantarkan jus jeruk jika ia datang. Ibu Jihan juga sering membuatkan seblak kesukaannya. Tapi sekarang, rumah itu tampak sangat sepi. Jihan seperti sebatang kara.

“ Yah.. Gitu deh,” jawab Jihan pasrah.

“ Kenapa? Lo kayak putus asa,“ tanya Hanif khawatir. Ia mendekat pada Jihan dengan bibir dicebikkan.

Jihan menjatuhkan kepalanya ke punggung sofa.

“ Semoga aja kabar tentang gue lulus tes pramugari bisa bikin dia sembuh. Itu hal terakhir yang pengen ibu lihat,”

Jihan memejamkan matanya. Air matanya terasa sudah kering hingga tak mampu lagi menetes dari kelopak matanya. Entah sampai kapan ia harus menanggung semua ini. Ia merasa menjadi manusia yang dikutuk dari kebahagiaannya.

Menjadi pramugari bukanlah impiannya. Bukan juga cita-citanya sejak kecil. Ia hanya mencoba meneruskan, karena tiga tahun yang lalu, masnya pergi untuk selamanya tanpa mengucapkan selamat tinggal ataupun salam perpisahan.

Masnya tidak sempat menjadi pilot karena meninggal di usia muda akibat sering mengonsumsi makanan instan ketika kuliah. Jihan lahir dari keluarga yang berada, tetapi harta seolah tak menjanjikan seseorang untuk bahagia.

Dan sang ibu sangat ingin melihat Jihan menjadi seorang pramugari untuk meneruskan cita-cita masnya sekaligus impian terbesar ibunya, ditengah kondisi sekaratnya.

Ia berpikir, mungkin dengan itu, dengan melihat ia sukses menjadi seorang pramugari, ibunya akan sembuh lebih cepat, atau seandainya pun harapannya tak tercapai, setidaknya ibunya pergi dalam keadaan damai.

Greb

Ketika ia melamun, ia merasakan sebuah dekapan hangat dari lelaki di sampingnya. Lelaki itu menyandarkan dagunya di bahu Jihan.

“ Jangan sedih ya, Han, lo nggak sendiri, kok. Ingat, masih ada gue. Kita udah kayak keluarga, gue udah anggap lo saudara sendiri,”

Jihan tersenyum dan membalas dengan mengusap lengan Hanif yang mendekapnya. Ia bersyukur masih punya teman yang selalu perhatian padanya. Sedikit kecewa karena Hanif hanya menganggapnya saudara, tetapi perasaannyapun terhadap lelaki itu sepertinya mulai terkikis karena ada orang lain yang membuatnya nyaman.

Orang lain yang mungkin selalu membuatnya kesal— tetapi dengan begitu pikirannya jadi teralihkan dari seluruh beban hidupnya yang amat berat. Orang lain yang tidak segan mengatakan ‘suka’ padanya. Orang lain yang belum mengenalnya lama tetapi sangat percaya diri bahkan sok akrab dengannya. Which is ketika ia dengan orang itu, ia merasa dilindungi dari kejamnya dunia.


***


Wildan menghentikan jarinya yang hampir menekan bel. Pemandangan di dalam sana membuatnya tertegun dan urung memberitahu bahwa dirinya ingin bertamu. Sedikit mengejutkan saat melihat seseorang yang ia pikir menjadi miliknya disentuh laki-laki lain.

Hello...?! Tidak boleh ada yang menyentuh ‘mainan’ seorang Kim Wildan.

Bukan! Jihan bukan mainannya. Hanya saja sejak bertemu Jihan, ia merasa seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Wildan memberikan seluruh perhatiannya untuk Jihan. Menyayangi ‘mainan barunya’ lebih dari dirinya sendiri. Dan sudah pasti tidak ingin kehilangan ‘mainan lucunya’ itu.


***


“ Jangan putus asa. Kalau lo mau cerita, lo tahu harus kemana,”

Hanif tersenyum dan mencubit pipi Jihan gemas. Ketika ia beranjak tidak sengaja matanya terpusat pada tanda merah di leher bagian kiri Jihan. Ia membungkuk dan melihat lebih dekat.

“ Apaan nih? “

“ Apa? “, tanya Jihan kembali.

Hanif menegakkan tubuhnya kembali. Ia mengerutkan keningnya dan menatap Jihan dengan tatapan memicing.

“ Jawab yang jujur. Lo punya pacar? “

“ Apa?! Pacar? “, tanya Jihan kaget. Hanif mengangguk.

“ Ngaku aja, gapapa. Normal juga. Lo kan udah 21. Udah, kita buka-bukaan aja. Gausah malu,” jawab Hanif meyakinkan.

“ Lo kan tahu gue nggak pernah dekat sama siapa-siapa. Kalau gue ada naksir sama orang gua pasti cerita ke lo,” Jihan membela diri, sama sekali tidak ingat kalau kissmark di lehernya adalah bekas gigitan Wildan di toilet kemarin.

Hanif mengerutkan dagunya. “ Ya udah, kalo lo nggak mau ngaku. Lagian tandanya masih di leher, belom di selangkangan... Eh, keceplosan.. “, Hanif meletakkan tangannya didepan bibirnya dengan sengaja. “ Yaudah. Gua pulang ya. Bye! “

Hanif membawa beserta jaketnya yang ia letakkan di sofa dan melangkah pergi.


***


Wildan membelalakkan matanya dengan kepala yang dimiringkan saat melihat laki-laki yang ada di dalam rumah Jihan. Laki-laki itu membungkukkan tubuhnya—kelihatan seperti.. berciuman..

‘Bangsat!!’

Kaki Wildan tidak sabar ingin segera mendobrak cluster Jihan. Tetapi ketika pintu terbuka dan laki-laki yang ingin dilabraknya keluar, tubuhnya malah reflek bersembunyi di balik tembok penyangga atap teras Jihan. Berbanding terbalik dengan niatnya barusan.

Bukan.

Bukan karena ia tidak berani. Dia hanya ingin mencari tahu lebih lanjut hubungan Jihan dengan laki-laki itu.

Apakah Jihan benar-benar sudah punya kekasih? Jika iya, lantas mengapa ia menawarkan dirinya untuk ditiduri Wildan?


***


Ting tung!

Jihan baru akan menaiki anak tangga pertama menuju lantai atas ketika mendengar bel berbunyi. Ia pikir itu Hanif yang kembali lagi. Mungkin ada barangnya yang ketinggalan atau ada sesuatu yang lupa dia sampaikan.

“ Kenapa, Nif—“

Kedua mata bambi-nya terbelalak tak percaya saat melihat laki-laki didepannya bukanlah Hanif.

“ Sore, Cantik! Boleh saya masuk? “

“ A—“

“ Terima kasih,” Wildan melangkah masuk meskipun sang tuan rumah belum sempat mengatakan apapun.

Wildan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia merasa flashback saat pertama kali masih training dan menjadi pilot junior, ia juga mendapatkan cluster dengan model yang sama. Hanya saja ada beberapa fasilitas furniture yang ditambah, seperti kitchen cabinet, penghangat ruangan otomatis, dan treatmil yang diletakkan di ruang tengah. Sungguh beruntung mereka yang mendaftar tahun ini.

“ NGAPAIN SIH DISINI?! “

Bentakan Jihan membuat Wildan tersentak dari lamunannya. Meski kaget, namun ia tidak bisa untuk tidak tersenyum saat menatap wajah menggemaskan Jihan. Bahkan ketika gadis manis itu marah. Kedua matanya yang melotot malah membuat Wildan semakin gemas dan ingin menggigitnya.

“ Yang pasti saya mau ketemu sama my little sugar baby, saya mau ngucapin selamat atas rumah barunya dan ngajak untuk ngerayain bareng-bareng,” Wildan mengangkat kantong plastiknya yang berisi makanan yang baru saja di belinya di restoran bintang lima. “ Saya udah bawa barbeque yang paling enak se-Jabodetabek,”

Wildan menaikturunkan alisnya dengan senyum lebar yang tak luntur sedikitpun, sama sekali tak terpengaruh dengan wajah datar Jihan.

“ Makasih ya.. tapi sorry udah KE-NYANG! “

Jihan berniat mendorong Wildan keluar dari rumahnya, tetapi Wildan malah melangkah lebih jauh menjelajahi rumah Jihan. Bahkan sekarang laki-laki itu mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah.

Tidak heran kalau Jihan tidak berhasil mengusir Wildan, secara tubuh laki-laki itu sangat atletis dan berotot ditambah tingginya 186cm, bandingkan dengan tinggi badan Jihan yang hanya 162cm, lalu bayangkan bagaimana orang sekerdil Jihan mau mengusirnya. Tapi kabar baiknya adalah, selisih tinggi mereka mendapat posisi yang pas untuk pasangan yang sedang berhubungan intim dengan posisi seperti di kolam renang kemarin.

Wildan menyilangkan kakinya. “ Lumayan empuk. Tapi nggak seempuk bokong kamu,” tersenyum dan mengerlingkan mata, Wildan membuat Jihan mulai merinding.

“ Kalau kesini cuma buat bahas tentang gitu-gituan, SILAHKAN ANGKAT KAKI DARI CLUSTER SAYA! SE-KA-RANG!!! “, perintah Jihan sambil menunjuk ke arah pintu utama cluster-nya.

“ Ssst.. Nggak usah jaim gitu. Saya tahu kamu masih kebayang-bayang sama kegagahan saya pas di kolam renang kan? Chat aja kalo kamu lagi kepengen, saya siap kok angetin kamu kapan aj—“



Komentar tak berguna Wildan berhenti saat Jihan melemparkan bantal sofa ke wajahnya—tepat mengenai wajah tampannya yang tegas dan tak ada cacat. Two thumbs up untuk Jihan karena menjadi orang pertama yang berani melakukan itu pada pilot tampan dan paling disegani bernama Wildan.

“ Bisa nggak sih bicara normal satu hari aja?!!! Apa emang di otak Bapak itu isinya cuma desahan, ranjang, dan selangkangan?!!! Kok bisa sih manusia kayak Bapak ini hidup sampai sekarang?! Ngabisin beras sama oksigen aja, tapi hidupnya nggak berguna! Dasar otak asu! Manusia toxic! Penjahat Kelamin! Bajingan Seks! Playboy Neraka! Kucing Hidung Belang! Anjing Liar! Cacing Alaska! Buaya Udara! –(NB : Karena Wildan bekerja di pesawat jadi buaya darat diganti dengan buaya udara)— Cowo Mesum! Lucifer Hentai! Cowo Bus—“


Jihan terlalu sibuk mengutuk Wildan dengan semua kata-kata lucahan yang tersimpan dalam otaknya selama bertemu dengan laki-laki itu, hingga ia tidak sempat menghindar ketika Wildan menarik tangannya— membuatnya jatuh ke sofa dan dengan cepat Wildan langsung menindihinya.

“ Benar. Saya emang laki-laki yang nafsuan dan gampang ngacengan. Tapi asal kamu tahu, saya nggak pernah sebar-bar ini sebelum ketemu sama kamu. Saya bisa ngontrol diri kalau sama orang lain. Tapi sama kamu nggak. Setiap didekat kamu entah kenapa bawaannya selalu pengen nerkam,”

“ Lepas—“

Wildan memegang kedua tangan Jihan erat untuk mengunci pergerakannya.

Jihan membelalakkan matanya ketika Wildan memegang kedua pergelangan tangannya dan menempelkannya di sofa yang harusnya mereka duduki.

“ Ada lagi yang pengen kamu katain, selain ‘Cowo Busuk’? Or.. Should I say.. ada kata-kata terakhir? Sebelum saya benar-benar jadi ‘hewan jantan yang menerkam betinanya’, um?  “

“ Ja-jangan, Pak.....! “

Jihan mulai panik ketika Wildan mendekatkan mulutnya ke arah pahanya.

“ Pak! Sa-saya nggak maksud..!! Please..lepasin saya..“

Tak sedikitpun teriakan Jihan menunjukkan tanda-tanda berhasil. Wildan seolah tuli dan sama sekali tak mendengarkan rengekannya.

Keringat dingin mulai dirasakan Jihan ketika Wildan menjilat paha mulusnya. Lekas saja Jihan merapatkan pahanya saat saliva Wildan sangat terasa membasahi kulitnya yang tidak terlindungi oleh hot pants yang dikenakannya.

Jihan memejamkan mata. Ia tidak sanggup untuk melihat apabila Wildan benar-benar memperkosanya. Apakah dia akan kehilangan harga dirinya untuk kedua kali?

[🔞] HEART FLIGHTKde žijí příběhy. Začni objevovat