"Kalau kemeja kak Asten buat balutan luka aku, terus kak Asten gimana?"

"Gue gak apa-apa," singkatnya.

"Siapa mereka? Yang menembak kita," tanya Kaycia mengubah suasana baru.

"Mereka--- sniper. Singkatnya, mereka mafia yang punya dendam sama anak motor."

"Siapa dalangnya,"

"Vano,"

"Tapi kenapa?"

"Dia ayahnya Mina."

"Mina?" beo Kaycia.

"Lo gak akan paham, jadi gak perlu pedulikan."

"Gak perlu dipedulikan gimana? Mereka hampir renggut nyawa aku, dan kak Karl ..."

Kaycia menutup wajahnya, mengkhawatirkan keadaan Karl apalagi dengan kedua orangnya dan Keenan yang pastinya sedang mencarinya.

"Percaya sama gue, Karl pasti selamat."

..............

"Cepet kak, lacak semua daerah!"

"Diem, Karl!" kesal Keenan yang terfokus pada monitornya mencari keberadaan Kaycia yang menghilang.

Karl memegang kepalanya, "maaf kak, gue gak bisa jaga Cia."

"Stop minta maaf terus. Bantu cari keberadaan mereka sekarang." pinta Keenan.

Karl mengangguk dan mengambil alih monitornya.

Malam itu, ketika para sniper menembakkan peluru mereka, Karl diam-diam keluar dari sana. Sampai Keenan datang menyelamatkanya.

Keenan amat murka pada Karl yang lalai menjaga Kaycia. Begitu juga dengan kedua orang tuanya yang baru mengetahui bahwa Kaycia tidak pergi menginap di rumah Rere, melainkan ikut berpesta di acara teman-temannya Karl.

Viola dan Rasello menghukum keduanya untuk mencari Kaycia secepatnya, jika tidak mereka akan di asingkan ke luar negeri secara terpisah.

Tentu, tanpa di perintah oleh kedua orang tuanya pun, mereka akan mencari Kaycia secepatnya. Memang, mereka sesayang itu pada adik perempuan satu-satunya.

Bahkan ketika mereka mengetahui Asten membawa Kaycia ke dalam pesta tersebut, Karl segera mendatanginya dan Keenan sampai meninggalkan tugasnya.

"Gue gak akan ampuni lo Asten!" gumam Keenan dengan gigi yang bergeletuk menahan emosinya.

..........

Langit semakin gelap, tapi Kaycia dan Asten belum juga menemukan jalan keluarnya. Mereka hampir putus asa.

"Di sana ada goa, kita ke sana ..." ucap Kaycia.

Asten melemah, luka ditubuhnya membuat persendiannya sulit digerakkan dan karena lukanya suhu ditubuhnya begitu tinggi.

Perlahan, Kaycia mendudukkan Asten, "kenapa badannya makin panas?" lirihnya, menempatkan telapak tangannya di kening Asten.

"Dingin ..."

"Dingin ..."

Mendengar alunan lembut yang keluar dari mulut Asten, membuat Kaycia mendekatkan telinganya guna mendengarnya lebih jelas.

"Dingin ..."

Kaycia menghela, dia ingin mengenakan kemeja yang terbalut di kakinya. Tapi, kemeja itu tampak kotor.

Sebuah ide terlintas di benak Kaycia, di mencoba merogoh kantong celana Asten.

"Dapat!" ujarnya memegang korek ditangannya.

Matanya menyusuri sekitar, mencari sesuatu untuk menjadi bahan bakar api unggun.

Kaycia pun mengumpulkan sedikit demi sedikit bahan bakar tersebut, lalu membakarnya.

Sepertinya api tidak membuat Asten membaik. Bibirnya bergetar menahan dingin. Kaycia sempat dilanda bingung.

"Gak ada cara lain," gumamnya, memeluk Asten.

Dia memeluk tubuh Asten yang menggigil, berusaha menenangkan Asten yang terus meracau.

"Selain sakit di tubuh kak Asten, sebenarnya kak Asten nyembunyiin apa?" Kaycia mengusap kerutan di kening Asten.

"Aku pikir, kak Asten manusia jelmaan iblis yang gak punya perasaan. Tapi, hari ini kak Asten berbeda."

Kaycia memegang dadanya yang berdebar. Dia tidak mengerti mengapa dadanya berdebar begitu cepat ketika melihat Asten dalam keadaan demikian.
.
.
.
.
.

TBC

My Nerd Is Perfect Where stories live. Discover now