PROLOG

7.6K 1K 49
                                    

Matahari mulai turun saat pesawat yang Renjana naiki mendarat dengan sempurna di bandara internasional ibu kota. Dengan perasaan ringan, ia melangkah santai menyusuri bangunan besar itu menuju pintu keluar. Seseorang sudah menunggu di tempat parkir sejak hampir satu jam lalu dan beberapa kali menelepon hanya untuk meminta agar Renjana lekas ke sana. Berlari kalau perlu, yang Renjana balas hanya dengan dengusan dan gulir mata jengah

“Gue sudah bilang kan, kemungkinan gue tiba pukul tiga. Siapa suruh berangkat menjemput lebih awal?”

“Ya gue kan cuma nggak mau lo kelamaan nunggu.”

“Akhirnya, lo yang lama nunggu. Salah siapa coba?”

Suara di seberang saluran terdengar bersungut-sungut, yang berusaha tak Renjana pedulikan. Ia tetap melangkah santai sambil menyeret koper berukuran sedang yang dibawanya pergi libur selama hampir satu minggu ke Pulau Dewata. Sendirian. Menikmati waktu dengan dirinya sendiri cukup menyenangkan. Toh, dia memang hampir tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Kecuali mungkin seseorang yang kini menunggunya di parkiran dan menolak menjemput ke terminal keberangkatan.

Renjana menarik napas panjang saat sambungan telepon dimatikan sepihak. Ia mengedik, tak ingin ambil pusing dan mulai mempercepat langkah seraya menurunkan kembali ponselnya dari telinga. Sampai kemudian suara tawa dari kejauhan terdengar di antara hiruk pikuk bandara yang ramai, terdengar paling nyaring dan renyah. Berat serta rendah. Cukup familier. Pun berhasil membuat salah satu organ di balik dadanya bergetar pelan.

Seketika, langkah Renjana terhenti. Pun napas yang seperti menemukan titik jeda. Sejenak. Hanya sejenak tapi berhasil membuat dunianya jungkir balik. Menguapkan ketenangan yang berhasil didapatkannya setelah liburan. Merusak seluruh kekuatan yang berhasil terhimpun untuk menjalani hari selama satu tahun ke depan.

Renjana menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara itu. Suara yang sukses membuat keringat dingin mengaliri punggungnya yang mendadak menggigil.

Lalu, napas Renjana terhenti begitu pandangannya menemukan yang dicari.

Dia di sana. Beberapa puluh langkah darinya. Di antara hilir mudik banyak manusia lainnya. Berjalan dengan langkah kecil untuk mengimbangi seseorang di sampingnya. Seorang gadis.

Gadis itu cantik sekali. Rambutnya ikal, terlalu ikal hingga tampak seperti keriting gantung buatan. Matanya bulat besar, penuh binar keceriaan. Pipi tembam. Bibir kecil yang tampak penuh. Dan saat ini dia sedang tersenyum pada seseorang di sampingnya. Laki-laki tinggi nan gagah dengan setelan santai yang tak lepas menggenggam jari-jemari mungil itu agar si kecil tidak berlari menjauh.

Ada kasih sayang di antara mereka. Cinta yang tulus, terpancar dari tatapan hangat yang entah mengapa membuat hati Renjana sakit saat melihatnya meski hanya dari kejauhan.

Renjana kenal tatapan itu. Wajah itu. Senyum itu. Kehangatan itu. Sesuatu yang dulu ia benci hingga ingin mati, tetapi kini justru sangat dirindukannya. Hanya saja, semua sudah terlambat. Sangat terlambat.

Waktu telah berlari begitu jauh, meninggalkan masa lalu. Renjana pernah menjadi manusia paling bahagia karena bisa lepas dari jerat pesona yang dianggapnya salah. Dan memang salah. Sialnya, kesalahan tersebut meninggalkan bekas luka yang besar di relung kalbu.

Tak perlu bertanya, Renjana tahu siapa gadis yang berada dalam gandengan si pria yang kini masih tertawa, seperti menikmati kejengkelan si kecil. Dia pasti ... putrinya. Atau lebih tepat ... putri mereka.

Barangkali tak tahan gemas, si pria langsung mengangkat sang putri ke dalam gendongan dan menyerang dengan ciuman bertubi-tubi di seluruh wajah mungil itu, masih sambil melangkah. Dua orang bersetelan hitam menyeret koper mereka di belakang.

Renjana masih di sana. Terdiam. Membisu. Kakinya seperti terpasung hingga dirinya tak bisa melangkah ke mana pun. Menatap pandangan di kejauhan sana dengan mata nanar. Dan seolah menyadari dirinya sedang diperhatikan, lelaki itu mengangkat kepala. Dan tatapan mereka bertemu. Lalu ... tawa lelaki itu terhenti begitu saja. Wajah ramah dan bersahabat yang semula tampak di wajah itu menghilang, berganti ekspresi dingin tak tersentuh.

Dia mengubah posisi gendongan sang putri menjadi lebih nyaman seraya mengalihkan pandangan, tetap lurus ke depan tapi tidak pada Renjana. Dia terus melangkah hingga jarak mereka cukup dekat. Dan ... melewatinya begitu saja. Seakan mereka dua orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya. Seolah semesta mereka tak pernah bersinggungan dalam satu garis takdir.

Andai tak ada pegangan koper yang bisa dijadikan tumpuan, Renjana yakin akan mempermalukan diri dengan ambruk di tengah keramaian. Tubuhnya lemas. Lututnya gemetar. Dan hatinya sakit diabaikan.

Oh, bukan salah lelaki itu. Wajar kalau kini dia mengabaikan Renjana atau bahkan mungkin lupa sepenuhnya. Sejak awal, Renjana tidak menginginkan mereka. Sejak awal, dirinya yang ingin lepas. Dan Tuhan mengabulkan.

Sudah berapa tahun berlalu sejak itu? Tiga? Lima? Dilihat dari tinggi putri mereka, sepertinya sudah hampir enam tahun.

Enam tahun yang panjang.

Menyesal bukan lagi pilihan. Dan rindu yang kini menjeratnya merupakan sebuah kesalahan. Sebab tak seharusnya ia merasa demikian.

***

Yeay, cerita baru dong.

Kuy, kenalan sama Argani dan Renjana. Semoga kalian suka, ya ^^

Bdw, di karyakarsa sudah ada bab 1 loh, yuk yang mau ikutan meluncur ke sana ^^

20 Jan 2024

LepasOnde histórias criam vida. Descubra agora