Surat Undangan

48 18 84
                                    

✨Welcome to my first Thriller Story ✨
~。⁠☆Happy Reading All☆。⁠

•••×•••

Sore ini, di sebuah rumah kecil berisikan empat anggota keluarga tengah dirundung keputus-asaan. Oh, tidak, lebih tepatnya hanya Bata Dintara—sebagai sosok kepala keluarga merasa resah dan kecewa dengan Lando sebab permintaan tak masuk akalnya.

"Ayah sudah bilang, Lando. Ayah tidak punya uang untuk membiayai pendidikan kamu setelah ini. Ayah hanya seorang penjaga toko kelontong. Sadar, jangan egois!" Nada suara Bata meninggi.

"Jangan membentak anakmu!" sanggah Lio—sang istri.

Lando hanya menunduk, anak kecil berusia sepuluh tahun yang mendengar perdebatan itu berlari ke arah Lando dengan langkah mungilnya. "Kakak ingin sekolah lagi, ya?"

Lelaki berusia lima belas tahun itu pun hanya tersenyum tipis menatapnya. "Ayo kakak antar ke kamar dulu, Bia."

Gadis kecil tersebut menggeleng. "Tidak, Kakak Lando. Biarkan Bia ikut dalam perbincangan ini. Bia meskipun kecil juga ingin diajak berdiskusi tau," rajuk Bia dengan bibir kecilnya yang dimanyunkan.

Sekarang Bia beralih menuju Bata dengan langkah kecilnya sambil memasang raut kekesalannya. Ia menyilangkan tangan. "Kenapa ayah tidak menyetujui permintaan Kak Lando?! Sekolah, kan, hal yang baik, Ayah! Harusnya ayah setuju!" ungkapnya penuh penekanan. Gadis itu tetap dengan ekspresi cemberutnya, ia memalingkan wajah.

Pria paruh baya yang berada di hadapannya itu hanya mampu menghela napas berat. Ia mensejajarkan posisinya pada Bia dan menatap sayu gadis mungil berponi di depannya kala itu, lalu mengambil kedua tangan untuk digenggamnya.

"Bia anakku, ayah tidak punya cukup uang untuk membiayai pendidikan kakakmu lagi. Lagipula, ayah juga harus membiayai sekolahmu, bukan? Pendidikan memang penting, tapi jika tidak punya uang juga sama saja. Sepintar apa pun kakakmu, tanpa adanya uang, sangatlah susah di kota kita untuk meneruskan pendidikan setelah lulus dari sekolah menengah pertama. Kakakmu itu...," ucapnya terputus, sejenak melihat Lando sekilas, lalu memandang Bia kembali untuk menyambung ucapannya. "Dia harus mengalah. Dia harus membantu ayah menjaga toko kelontong di rumah Koh Ishou atau bekerja serabutan demi menyambung kehidupan kita," pungkasnya.

Gadis itu terdiam, berpikir. "Ya, sudah. Berikan saja uang pendidikan Bia untuk Kak Lando. Bia saja yang tidak sekolah. Bia juga malas," balasnya spontan membuat Bata geram.

"Bia!" bentak Bata.

"Cukup, Mas!" Suara tinggi Lio beriringan dengan ketukan pintu yang beberapa kali berbunyi menghentikan perdebatan mereka.

Pria dengan baju kusut dan topi yang hampir koyak itupun menarik napas panjang dan membangkitkan tubuhnya untuk membuka pintu.

Saat pintu itu terbuka, memperlihatkan sosok pria berbaju hitam rapi, berjas, memakai dasi abu-abu, juga masker dan kacamata hitam. Sangat mencurigakan.

"Maaf, siapa?" tanya Bata.

Tanpa menjawab, sosok di hadapannya itu langsung memberinya sebuah surat berwarna hitam keemasan di sudut surat, bersama dengan pita merah di bagian tengahnya.

"Untuk Lando Dinata," ucapnya sesaat, lalu melenggang pergi sebelum Bata bertanya tentang surat tersebut.

Lio menghampirinya dengan raut kebingungan. "Siapa?"

Bata tidak menjawab. Lio beralih melirik surat dalam genggaman Bata. "Surat?"

"Iya, untuk Lando. Tapi aku tidak tahu ini surat apa. Sepertinya tidak penting, biar kubuang saja. Ah, dasar. Kenapa orang di sini ini terlihat aneh? Membuatku kesal saja."

Tangan Lio merampas surat yang hampir saja Bata lempar. "Jangan, surat ini sepertinya istimewa. Terlihat dari bentuknya saja seperti sebuah surat formal."

Kaki kecil Bisa turut berlari ke arah pintu diikuti Lando di belakangnya. "Apa itu, Ayah?"

"Lando, ini ada surat untukmu. Ibu tidak bisa membaca. Coba bacalah," titahnya yang langsung menyerahkan surat tersebut pada anak sulungnya.

Lio itu memang tidak bisa membaca sedari kecil karena ia tidak pernah sekolah. Mama Lio yang juga merupakan nenek dari Lando dan Bia itu sudah menikahkan ibu mereka dengan Bata saat ia masih berumur lima belas tahun. Ya, pernikahan dini pada masa itu sangat umum di kalangan tempat Lio. Jadi, tidak heran jika Lio tidak bisa membaca, karena di zamannya yang paling penting adalah merias diri untuk mendapat pria kaya.

Bata dulunya merupakan tuan tanah di daerah yang mereka tinggali saat ini. Namun, karena penilapan dana yang dilakukan oleh tangan kanannya itu membuat Bata jatuh miskin, semiskin-miskinnya. Lio pada saat itu masih memiliki Lando yang berumur lima tahun pun hanya bisa berpasrah dan menerima keadaan yang ada sambil terus menemani Bata.

"Astaga!" tuturnya membuat pandangan Bata, Lio, dan Bia teralih seketika.

"Aku diterima di SMA MALDENE NASIONAL! Ini sekolah terbaik se-Asia, Ayah!" sambungnya berbinar.

Ungkapan itu hanya membuat Bata menghela napas pasrah. "Percuma. Kamu tidak punya uang untuk ke sana. Lagipula, ayah kira tadi isinya uang. Ah, rupanya tidak penting. Lupakan saja mimpimu, Lando. Besok ikut ayah ke Koh Ishou untuk bantu-bantu di sana."

Lando bergeming. Ia tetap membaca surat itu sampai akhir hingga ia menemukan satu kalimat yang ia yakini dengan pasti jika Bata dan Lio akan tertarik. Dia mengeraskan suaranya. "Siapapun yang bersedia menjadi siswa ataupun siswi di sekolah kami, maka seluruh anggota keluarga mereka akan diberi sebuah kehidupan layak, seperti apartemen gratis, dan uang bulanan untuk satu anggota keluarga."

Benar saja, kalimat itu mampu membuat Bata mengurungkan niatnya menuju kamar untuk beristirahat. Bata dengan sigap berbalik arah dan mengambil alih surat tersebut untuk ia baca dengan seksama.

"Dengan syarat, selalu mendapat peringkat satu, dua, atau tiga terbaik di setiap kenaikan kelas."

"Setiap peringkat tertinggi, pemimpin sekolah akan memberi keistimewaan khusus, juga penghargaan untuk keluarga dengan anak terpandai," sambung Bata.

Lio memutar bola matanya ke kanan dan kiri selayaknya berpikir sembari berkacak pinggang. "Aku rasa surat itu terdengar tidak masuk akal. Bayangkan saja, di mana ada orang memberi kita cuma-cuma hanya karena memiliki anak yang pintar?"

"Aku juga berpikir bergitu," balas Bata.

"Tapi apa salahnya kita mencoba, Ibu, Ayah? Siapa tau nasib keluarga kita berubah dengan Lando menerima undangan ini?"

Pria paruh baya di hadapannya itu menatap tajam ke arahnya. "Tapi ini sangat tidak masuk akal, Lando."

"Ayahmu benar, Lando. Selalu mendapat tiga peringkat terbaik di setiap kenaikan kelas juga bukan hal yang mudah, loh. Kau pasti bertemu anak dari kota-kota besar, bersaing dengan mereka yang lebih pintar dan unggul nantinya. Memang kau sanggup?"

"Sekolah itu pasti hanya mengundang anak pintar, kebetulan juga keberuntungan itu berpihak padamu. Tapi, kan, bukan kamu saja. Ini sekolah ternama. Apa kau yakin menerima tawaran itu?" sambungnya bertanya kembali.

"Pikirkan baik-baik, Lando," pungkas Lio.

Lando memberingsutkan tubuhnya. Kini, ia bertekuk lutut di hadapan Bata dan Lio. "Tolong izinkan Lando menerima surat ini. Lando yakin, Lando bisa mengubah nasib keluarga kita dengan menyetujui undangan ini."

Lio dan Bata tidak menjawab. Mereka menoleh bersamaan, hanya saling bertatap tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

~Bersambung

HALO PEEPS!!

NI CERITA THRILLER PERTAMA AKUU
SEMOGA SUKA YEU😭❤️
SALAM DARI BINJAI👊🏻🤙🏻

BLUE SIGN [SLOW UP]Where stories live. Discover now