Meldene

35 16 33
                                    

Sore itu, selepas menelepon salah satu nomor dalam surat undangan dari sekolah Meldene yang ditujukan pada Lando— putranya, Lio memasukkan barang-barang miliknya dengan milik Bata dalam sebuah koper, sebelum nanti ia berganti untuk menyiapkan keperluan Lando juga Bia.

Kala itu, terjadi sedikit cekcok diantara Bata juga dirinya. Bata yang masih dilema akan keputusan untuk membiarkan Lando tetap menganyam pendidikan, tetapi Lio sang istri selalu meyakinkan jika ini merupakan satu keputusan terbaik.

Lio memang tidak pernah menganyam pendidikan, namun dia tidak akan pernah membiarkan anak-anaknya mengalami hal yang sama seperti dirinya dahulu. Sudah cukup Lio saja yang menanggung perihnya sebuah kebodohan, jangan lagi teruntuk putra-putrinya. Ia tahu, kesempatan ini langka dan hal semacam ini juga tidak akan pernah datang hingga dua kali. Sebagai seorang ibu, ia pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Maka dari itu, Lio sangat mendukung minat Lando untuk terus menganyam pendidikan yang lebih baik.

Lando yang sedang menguping pun teramat senang mengetahui keputusan sang ibu yang mendukung mimpinya, juga membiarkan Lando menerima tawaran tersebut. Remaja laki-laki itu telah membayangkan banyak hal, termasuk betapa senangnya ia jika nanti hidup di dalam kekayaan. Lando sudah bermimpi tentang apartemen mewah yang katanya sudah disediakan bagi setiap siswa yang berhasil mendapat undangan khusus dari Meldene.

Oh, astaga! Lando benar-benar gembira! Dia masuk ke kamar, jemarinya mulai menggores di sana. Entah mengapa, dirinya tiba-tiba terpikir untuk menggambar sekilas dari setiap bagian rumahnya. Barangkali Lando akan rindu dengan nuansa rumah ini, ia akan membawanya esok hari sebagai sebuah kenang-kenangan.

×××××

"Kalian sudah siap?" tanya Lio pada Bata, Lando, juga Bia. Sang ditanya pun mengangguk bersama.

Mereka bergegas menuju lokasi yang tertera pada surat tersebut. Sekolah itu berada cukup jauh dari rumah mereka. Letaknya tepat di pusat kota. Dengan uang pas-pasan, Bata nekat menyewa sebuah angkutan umum milik salah satu tetangganya untuk mengantar istri bersama anak-anaknya.

"Akan ke mana ini, Bata?"

Bata meminta surat tersebut pada Lio. "Pusat kota." Setelahnya ia memperlihatkan surat tersebut pada Herman, sang supir. "Di sini."

Pria seusia Bata itu pun membaca dan memperhatikan dengan teliti. "Astaga! Anakmu diterima di Meldene?! Kau mengizinkannya?"

Bata mengerutkan dahinya. "Iya. Kenapa kau terlihat sangat terkejut begitu, Herman?"

Herman tak menjawab. Dia balik bertanya, "Kau yakin dengan keputusanmu?"

"Mengapa tidak? Sudahlah, jangan banyak bicara, Herman. Cepat lajukan mobilmu. Aku membayarmu mahal untuk mengantar keluargaku ke pusat kota, bukan untuk mengomentari mereka," decaknya.

"Baiklah, baiklah. Maaf, aku hanya terkejut saja. Itu sekolah terkenal. Hanya anak berprestasi saja yang bisa masuk ke sana, tapi-"

"Sudah-sudah. Anakku memang pintar, aku tahu itu," pungkasnya membuat Herman langsung menatap malas ke arahnya dan segera menancapkan gas mobilnya.

××××××

Sesampainya di depan gedung dengan gerbang berwarna keemasan, berlogo bintang yang berpadu lingkaran, juga huruf M ditengahnya melambangkan nama sekolah itu sendiri, Meldene. Gedung bernuansa putih bertuliskan Meldene Nasional High School itu pun membuat pandangan keluarga Bata yang baru saja turun dari mobil milik Herman merasa takjub.

BLUE SIGN [SLOW UP]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora