Keputusan

33 16 33
                                    

Fajar kian membentang, memancarkan terik mentari yang menyengat ke seluruh tubuh. Lando mengibas-ibaskan topi usangnya untuk mendapat sedikit kesejukan selepas membantu ayahnya memikul satu karung beras.

Dirinya duduk, bersantai sejenak di pinggiran toko sembari melihat pria tua dengan kacamata yang tergantung di lehernya. Kulitnya putih, matanya sedikit sipit, serta membawa sebuah nota buku adalah ciri khas darinya. Koh Ishou, dialah sang pemilik toko kelontong di pinggir jalan yang juga merupakan bos dari ayah Lando.

Lelaki berusia lima belas tahun itu menatap dari kejauhan, bagaimana Koh Ishou memerintah setiap pekerja untuk memasukkan berasnya dari mobil pickup hingga menuju gudang dengan hati-hati.

Sedikit terlintas di benak Lando. Jika saja Bata kembali menjadi orang kaya seperti dahulu, pasti dirinya tidak akan kesusahan barang sedikit pun untuk melanjutkan pendidikannya saat ini. Lando masih berambisi besar tentang tawaran dari surat tersebut, karena di samping ia ingin menamatkan pendidikannya, di sisi lain Lando juga berharap bisa mengangkat kembali kejayaan keluarga mereka.

"Hei, kau ini melamun saja," tegur Bata membuat Lando mengerjap. "Ayo bantu ayah lagi. Punggung ayah rasanya hampir encok," pungkasnya berjalan kepayahan sambil memegangi pinggangnya.

Lando mengekorinya hingga berjalan beriringan dengan Bata. "Ayah istirahat saja, biar punggung ayah tidak semakin sakit. Ayah sendiri yang bilang biaya rumah sakit mahal, kan? Makanya kita harus senantiasa sehat? Ini, Lando saja yang urus," tuturnya panjang lebar.

Bata menghentikan langkahnya dan menatap sekilas ke arah putra sulungnya itu. "Kau ini laki-laki tapi cerewet sekali seperti ibumu. Jangan khawatirkan ayah. Ini sudah konsekuensi dari sebuah pekerjaan."

"Tapi Ayah, Lando hanya-"

"Haiya! Benal kata putlamu, lo, Bata," celetuk Koh Ishou dengan logat china-nya yang kental memotong ucapan Lando. "Lu olang istilahat saja, lo, jangan dipaksakan-a. Oe enggak mau punya pekelja sakit-sakitan, la," sambungnya.

Pria itu berangsur menjauh dan berjalan mendahului Bata juga Lando tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Koh Ishou memang terlihat dingin dan sedikit keras, tetapi sesungguhnya dia merupakan sosok yang peduli. Hatinya lembut.

Bata pun menurut, ia berjalan perlahan sembari dipapah oleh putranya. Lalu setelahnya menyandarkan punggung pada dinding sebelah gudang untuk beristirahat sejenak. Sementara Lando beralih menggantikan pekerjaan ayahnya untuk memikul beberapa karung beras dari mobil pick up untuk dipindahkannya menuju gudang.

Sejujurnya, melihat Lando seperti ini membuat hati bata teriris karena merasa gagal menjadi orang tua tatkala tak mampu menyenangkan hati putranya. Bata tahu betul, anak sulungnya itu sangat berminat untuk bersekolah, tetapi bagaimanapun keadaan menyadarkannya berulang kali bahwa semua itu terdengar mustahil.

Bulir air bening di sudut mata lelaki berusia lima puluh tahun itu menetes sepersekian detik, membuatnya langsung mengusap kasar air matanya agar Lando tidak melihat dirinya ketika menangis.

"Papa!" Teriakan nyaring seorang gadis berhasil membuat beberapa orang mengalihkan pandangan.

Ia berlari menuju Koh Ishou yang tengah meregangkan ototnya di ujung jalan dengan senyum mengembang. Gadis berkacamata dengan kulit putih serta rambut yang digelung itu pun, memeluk erat Koh Ishou seakan ingin menyalurkan kegembiraannya.

"Haiya, Lingling. Lu olang buat papa kaget saja, lo. Kenapa keliatan senang, lo? Coba kasih tau papa, la."

"Bagaimana Lingling tidak senang, lo. Coba papa liat sini, la," ujar Lingling, anak dari Koh Ishou yang juga sepantaran dengan Lando, menyerahkan sebuah surat kepada papanya.

BLUE SIGN [SLOW UP]Where stories live. Discover now