Part 22;Bayi besar?

Beginne am Anfang
                                    

"Ish!" Tamparan Elara di kepala Atlantik cenderung pelan. Tidak boleh kuat-kuat, Elara tidak mau jadi Istri durhaka. Terlebih lagi Atlantik pasti letih. Wajahnya tenggelam, Atlantik mendusel-dusel manja diperut Elara.

"Dia nyusahin lo gak, hari ini?" Atlantik mendongak, meratapi Elara. Pemilik mata teduh itu timbal balik, membalas tatapannya dari atas.

"Dia siapa?"

"Cebong kematian, siapa lagi?"

Elara memiringkan wajahnya masih berusaha menelaah. "Cebong kematian?"

"Baby deh Baby!" Ugh, ingin sekali Atlantik membanting Elara saking gemasnya.

"Oh.. Baby..?" Elara manggut-manggut lalu menggeleng. "Enggak. Dia gak pernah nyusahin Ara."

"Good child." Atlantik memberi sedikit jarak, ia menepuk-nepuk perut yang sudah agak membentuk gundukkan, hanya saja belum terlalu membengkak.

"Jangan banyak bertingkah ya kids, Bunda lo sekarang sudah jadi kepunyaan gue dan perlu gue ingetin baik-baik, dihati Istri derajat Suami itu jauh lebih tinggi dari pada anak."

"Anak itu gak berarti, karena walaupun hilang, bisa bikin lagi, tapi Suami yang memiliki visual spek aktor-aktor korea sulit dicari."

Elara menggeplak bibir seksi Atlantik. "Mulutnya..anak tetap jadi takhta tertinggi dihati Istri. Dia, jauh lebih berharga dibanding Suami!"

Menyengir dirinya, Atlantik kemudian dalam waktu sekejap langsung mengubah mimik jadi datar. Menyorot sinis perut Elara. "Gue bakal selalu ada di sisi Ara, sekalinya gue tahu lo ngeribetin Ara, habis lu sama gue!"

Smirk Atlantik tergantikan seringai puas. "Dia pasti takut sama ancaman gue."

"Belum lahir aja, Atla sudah sekejam ini sama dia. Padahal anak sendiri loh.." Elara mengelus permukaan perutnya yang terlapisi sehelai pakaian. "Adek tenang aja, ada Bunda. Bunda yang bakal lindungi malaikat kecil Bunda dari Ayah galak."

"Dia masih berbentuk janin, tapi udah jadi saingan berat gua. Gimana lahir nanti yah? Posisi gue bakal langsung tersingkirkan." Gumam Atlantik menahan diri untuk tidak mengulek-ulek perut Elara. Pandangan penuh permusuhan masih menghunus perut Elara, sepertinya calon anak dan Ayah itu kelak akan jadi musuh bebuyutan.

Mulutnya komat-kamit, Atlantik tak habis-habis melafalkan kutukan buat janin itu lalu kembali memeluk perut Elara. Ditengah itu, ia bertutur. Suara baritonnya agak teredam. Tapi Elara bisa mendengarnya dengan jelas.

"Ra, apa gue berhenti kuliah aja..?"

Mendorong bahu Atlantik, Elara menggeleng tidak setuju, jelas ia menentang keras. "Gak! Atla gak boleh berhenti kuliah!"

"Tapi gue pengen fokus menunaikan tanggung jawab gue sebagai kepala keluarga, cari duit, menafkahi lo dan calon anak kita, gue cukup berdiri dibelakang ngedukung lo, liat lo pakai topi toga, liat lo sukses kerja diperusahaan ternama."

"Sekali Ara bilang gak ya enggak! Ngeyel banget sih jadi orang?! Ara gak mau Atla mengorbankan mimpi Atla demi Ara. Emang Atla gak takut, kalo misalnya Ara sukses terus ketemu cowok yang lebih tajir dan jauh lebih keren dari Atla, Ara bakal berpaling dan pergi bersama cowok lain."

Mendengar kalimat panjang lebar Elara, Atlantik reflek mendekap perut Elara lagi. "Iw dwon't cwarwe."

Membeku beberapa saat, sebelum akhirnya Elara bersuara dengan nada yang sedikit bergetar samar. "Iya kan, Atla gak sayang sama Ara."

'Banget malahan, damn girl! Gue sayang banget sama lo, melebihi nyawa gue sendiri. Peka bangsat! Sialan! Gue gak bakal pernah ikhlas lo sama cowok lain! Gue pemilik lo satu-satunya!'

PANGERAN ATLANTIK (SUDAH TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt