5. Kenapa Harus Dia?

11 2 0
                                    

"𝐊𝐞𝐦𝐛𝐚𝐥𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐦𝐮 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐬𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐤𝐮 𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩𝐤𝐚𝐧."
- 𝓳𝓮𝓳𝓪𝓴 𝓹𝓮𝓶𝓲𝓶𝓹𝓲 -

Kantin langganan Gea dan Ila terlihat sangat ramai. Untung saja mereka masih kebagian tempat meski pun terasa lebih sempit. Tidak pernah absen, Gea dan Ila membeli beberapa macam gorengan. Mencocolnya dengan sambal, lalu memakannya.

"Kenapa semakin hari kalian itu semakin mirip aja di mata gue?" tanya Ila. Ia memerhatikan Gea dan Kaivan secara bergantian.

"Nggak ada tuh," sanggah Gea. Menurutnya, ia dan Kaivan sama sekali tidak memiliki kemiripan.

"Serius deh. Kalau sekilas memang enggak, tapi semakin diperhatiin kalian memang kelihatan mirip. Ya, walaupun miripnya itu cuman secuil."

"Terserah lo deh, La."

Ila mendengus malas melihat respons Gea, kalau Kaivan jangan ditanya lagi. Meski pun cowok itu merelakan waktunya bersama dengan teman-temannya hanya untuk menemani Gea makan, jangan harap cowok itu akan nimbrung. Bicaranya itu sangat jarang, kecuali sama Gea. Bahkan Ila menduga bahwa cowok itu sebenarnya memiliki dendam pribadi kepadanya.

"Katanya kalau mirip itu biasanya jodoh," ungkap Ila lagi membuat Gea menatapnya jengah.

"Ngawur!" seru Gea. Ia menatap sahabatnya itu mencemooh.

"Wah, parah sih. Masak lo nggak mau jodoh sama Kaivan?"

Diam-diam Gea mengumpati perempuan itu dalam hati. Ia memelototinya, tapi perempuan itu justru tertawa dengan tampang tanpa dosanya. Iya, Ila sangat berharap cowok bernama Kaivan itu mengeluarkan ekspresi lain-selain tampang datarnya itu di depannya. Setidaknya marah.

Sayangnya Kaivan justru ikut mencemoohnya tanpa rasa kemanusian. "Gila, nggak usah didengarin."

Ila menatapnya cengo, bahkan mulutnya terbuka sedikit. Berbeda dengan Gea yang kini tertawa lepas, sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian.

"Gue yakin, sebenarnya lo itu suka sama gue!" seru Ila dengan nada songong. Setelah mengucapkan itu, ia mendapatkan ketukan sendok di kepalanya.

"Lancar benar tuh mulut!" sindir Gea.

"Bercanda, Ge," ucap Ila menyengir. Kaivan hanya bisa menghembuskan napasnya berat, ia sudah terbiasa tapi tetap saja menjengkelkan.

"Oh, ya. Lo belum cerita kenapa nggak masuk sekolah kemarin. Eh, maksud gue lo sakit apa? Perasaan gue semenjak kelas 11 lo kebanyakan izin sakit deh," ujar Ila mulai penasaran. Saat Gea sakit, sahabatnya itu tidak mengizinkannya menjenguk kecuali saat doa benar-benar masuk rumah sakit. Bahkan dia juga tidak pernah menceritakan tentang keluhan sakitnya itu.

"Demam," jawab Gea enteng.

"Lo emang cepat demam gitu, ya?"

"Iya. Ngomong-ngomong, hari ini lo kebanyakan tanya deh," keluh Gea. Ia menatap perempuan di depannya dengan malas.

Ila ikut mencibir, bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara.

"Kedengaran loh sampai ke telinga gue," ujar Gea saat ia memahami gerakan bibir Ila. Ila menyengir tidak bersalah, kemudian mengangkat dua jarinya. "Van, kok kamu bisa suka aku? Kata dia aku ini monyet?"

Gea tidak serius bertanya seperti itu, ia hanya sedang menyindir perempuan di depannya ini. Dan seolah paham, Kaivan hanya menatapnya sebentar lalu kembali memainkan ponselnya.

"Baperan deh lo," ejek Ila. Perempuan itu beranjak dengan mangkok kosong yang ia bawa ke stan kantin. Pergerakannya itu diikuti oleh Gea dan Kaivan yang juga sama-sama sudah merasa kenyang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang