DUA-°°

7 0 0
                                    

We pray for each other first

California tidak memiliki cuaca yang cukup ekstrim seperti di negara bagian yang berada di lintang tinggi. Akan tetapi, udara dingin tetap hadir menjelang akhir tahun. Sudah beberapa tahun terlewat dan aku masih saja terperangkap dalam kedinginan. Coklat panas dengan marshmallow kenyal dihidangkan dalam cangkir dan ditambah badanku diselubungi oleh selimut. Perpaduan yang hangat dan nyaman.

"Kemulan dulu kita," tuturku sambil mmenyeruput coklat panas dan bersiap untuk tidur.

Sebelum akhirnya nyawa terenggut sementara dalam dunia mimpi, aku biasa menulis jurnal harian. Merekam seluruh emosional dalam tulisan tangan di atas buku saku. Namun, pada malam ini aku akan menuliskan suatu harapan, "God, can you send me a person that can lit up my day everyday?"

Tulisan itu bagaikan do'a. Tulisan itu bagaikan olahan rasa yang tidak bisa dicurahkan lewat mulut. Tulisan yang kemudian aku singgah di masa depan untuk mendapatkam pembelajaran. Kali ini mungkin tulisan ini hanya sebatas harapan yang ditulis dengan tulus kepada Tuhan. Tuhan yang kadang aku anggap seperti dongeng anak-anak, akan tetapi perlahan sudah aku anggap sebagai tempat untuk kembali.

Malam yang dingin perlahan mulai mencair ketika matahari mulai terbit di atas Los Angeles. Badanku pagi itu sudah sangat segar ditambah baru saja menghabiskan secangkir kefein hangat. Perjalanan menuju kampus di pagi itu sungguh tenang dengan sejuk yang masih menusuk. Walaupun membuat diriku menggigil, semangatku pagi itu tetap maksimal karena raut muka orang-orang yang belalu lalang di kampus. Setelah berjalan setengah jam, akhirnya aku sampai di laboratorium. Laboratorium dengan alat-alat masif berdiri dan menyambutku ketika kedua kaki melangkah menuju salah satu ruangan.

Walter Burke Institute for Theoretical Physics

California Institute of Technology

PARTICLE-NUCLEI-PHYSICS SUB-LABORATORY

"Cak, lil' bit late, I have to give a short course. Paling satu jam lagi baru bisa ke sana," tutur Abyan melalui yang tiba-tiba melakukan panggilan melalui telpon.

"Aman gue seharian di sini," balasku sambil menyalakan salah satu komputer di laboratorium.

"Okay, see you later!" Abyan kemudian mematikan telpon.

Laboratorium ini hidup dengan berbagai probabilitas yang terbentuk dari gelapnya dunia kuantum. Dari zarah yang melesat hingga tersembunyi dalam hampanya ruang dan waktu.

"Morning, Sancaka," sapa salah satu teman risetku bernama Reagen. Dia datang dengan baju polo berwarna hitam dan memakai kacamata bulat persis seperti Erwin Schrodinger, tetapi berasal dari Pakistan..

"Hey, Reagen, why are you coming this morning?' tanyaku kepada Reagen.

"WELL," seru Reagen sambil mendekatiku dengan raut muka yang sepertinya akan memberi tahu sesuatu, "I will go back to Pakistan next month, because I'm getting MARRIED!"

"Shit, alhamdulillah!" seruku sambil menjabat tangan Reagen.

"I'd like to say good bye, I'll continue my research next year. Because my girl ask me to stay in Karachi for at least a year," tuturnya dengan suasana yang penuh sukacita. Kemudian dia memerhatikan seluruh ruangan dan menghela napas yang panjang. Dia kemudian duduk persis di depanku dan melihat diriku dengan penuh harapan, "And of course I am waiting for great news from you, especially what we have been dealing in this room."

Kalimat yang dikeluarkan Reagen seketika membuat kepalaku terasa berat. Aku baru menyadari bahwa selama setahun ke depan aku akan memikirkan semua penelitian ini sendiri. Reagen selama ini meneliti tentang salah satu pendekatan terhadap formula mengenai kuantum gravitasi. Sangat berbeda, akan tetapi selama setahun ke belakang hanya dia yang bisa bertukar pikiran denganku. Menafsirkan hal yang mungkin tidak jelas hingga curahan hati tentang kehidupan.

"Good luck." Reagen kemudian menutup pintu dan meninggalkan diriku sendiri.

Suara penghangat ruangan kemudian memenuhi seluruh ruangan; Suara kipas pada CPU komputer besar yang berada di ujung utara ruangan menderu dan turut memenuhi kesunyian. Aku kemudian duduk di salah satu meja dan merasakan rasa yang mungkin aku interpretasikan sebagai kesepian. Tidak ada pikiran yang jelas pada penelitian yang sedang aku jalankan, karena aku kehilangan teman diskusi. Ada Abyan, akan tetapi dia tidak akan pernah mengerti secara dalam mengenai Kelindan.

***

"Gue kapan nikah?"

"Brengsek, lu nikah? Gue rasa yang ada LHC beneran bikin black hole kalo lu nikah," momok Abyan kepadaku setelah aku memberi tahu bahwa Reagen harus kembali ke Karachi untuk menikah.

"Wong, kita hidup di dalam black hole sekarang, have you ever read the conspiracy theory about it?" balasku dengan candaan yang membuat Abyan berpikir.

"Shut your mouth! udeh, tunjukkin begimane permodelannya!" tanya Abyan yang mulai merasa jengkel dengan candaanku barusan. Abyan akan mengeluarkan nada betawi ketika sudah merasa penat.

"Baik." Kemudian aku membuka salah satu laman pada program yang dapat mengolah seluruh penelitian yang sedang aku jalani. "Ini adalah komputer kuantum yang berada di laboratorium dan sudah beberapa kali gue pake sama Reagan dalam beberapa percobaan. Paling asik ketika kita mencoba untuk mengolah data variabel cinta."

"Aduh, apa itu?" tanya Abyan dengan bingung, "Kayak lu punya perasaan aja, HAHA."

Aku menatap mata Abyan dengan sinis, "Brengsek, dah lah, mood gue ilang, langsung aja gue tunjukkin permodelannya."

"DIH, BAPER, MAAF," seru Abyan sambil memukul bahuku.

"Intinya gue udah mencoba mempermodelkan dua Bell's Theorem, benar tidak ada yang benar. Makanya professor beri tekanan ke gue biar bisa menemukan hal yang unik." Kemudian aku berjalan ke arah layar komputer yang menjadi media untuk melakukan permodelan di Komputer Kuantum

"Apa itu?" tanya Abyan yang sama-sama mendekat ke layar.

"Aku akan mencoba pada tiga elektron dan melihat apakah akan terjadi kelindan dengan formula Hidden Variable Theory," jelasku singkat sambil menunjuk papan tulis yang berada tepat di samping layar.

Secara seksama aku mulai menyusuri tiap jendela pada layar komputer dan mulai memasukan formula yang sudah aku susun selama beberapa minggu. Reagen adalah seseorang yang berperan penting dalam permodelan yang akan dijalani saat ini. Dia yang membantu menemukan jalan keluar terhadap permasalahan yang aku temui. Hingga akhirnya aku berani mengambil keputusan untuk mencoba pada tiga elektron tanpa kehadiran Reagen.

"Bismillah," ucapku pelan.

"Buset Islam lu sekarang?" Abyan kembali mengejek.

Aku menghela napas dan menghiraukan perkataan Abyan dengan tangan mengarakan kursor ke tombol "RUN" pada layar, "Semoga gue bisa lulus."

Muncul jendela baru pada layar yang menampilkan angka-angka. Data dengan beban yang sangat banyak dikerjakan dengan cepat oleh kekuatan komputer kuantum. Aku dan Abyan hanya bisa menatap pada layar yang menampilkan proses yang dikerjakan.

"Kemarin berapa lama?' tanya Abyan memecah keheningan dalam ruangan.

"Setengah jam, bikin kopi enak kali," balasku sambil bangkit dari kursi.

"Bo—"

**RUN__COMPLETE**

"What?" Aku terkejut ketika permodelan yang dilakukan telah selesai.

"Interesting," tutur Abyan.

Aku pun segera duduk kembali dan mulai melihat data dari permodelan yang telah dilakukan. Kursor perlahan mulai menyusuri setiap angka dan huruf program yang didapat dari permodelan. Pikiran mengarah bahwa aku salah memasukan kode atau formula. Akan tetapi, aku menjadi penuh akan pertanyaan. Rasa lega dan kebingungan menyatu menyelimuti seluruh tubuh. Mata dan tubuh benar-benar terpaku tidak bisa berhenti menatap pada layar.

"WOI! KENAPE?" seru Abyan.

Aku menatap Abyan dengan mata yang berbinar, "Eureka?

K E L I N D A NKde žijí příběhy. Začni objevovat