Tiga-°°°

4 0 0
                                    

All we have to do is sit back and enjoy the rollercoaster of life

Bandara Internasional Soekarno Hatta, 2013

Aku menatap setiap pesawat yang lepas landas dan mendarat pada landasan. Tidak lama lagi aku akan naik ke salah satu pesawat yang akan terbang menuju negara besar. Fisika mungkin adalah bidang yang aku geluti, akan tetapi sejarah dunia adalah sebuah topik yang sangat aku gemari. Pergi ke negara besar yang memiliki sejarah kapitalis sejak empat abad yang lalu. Negara besar yang menginiasi era nuklir. Negara besar yang menjadi rival uni soviet di satu kala.

"Bussiness class, Sir?" tanya pramugari Japan Airlines ketika aku berada di depan pintu yang akan menuju garbarata.

Aku tersenyum, "First class."

Hari ini adalah perjalanan yang sangat penting dan bersejarah. Akhirnya aku meninggalkan Indonesia menuju negara adidaya yang menang dari perang dingin—Amerika Serikat. Berbagai ekspektasi sudah aku timbun dalam pikiran, walaupun sebenarnya aku bisa tenggelam dari ekspektasi yang terlalu tinggi. Aku hanya bisa bernapas pelan dan menenggelamkan diri dalam tanah untuk selalu rendah diri.

"Sir, would you like to sip the best sake for this flight?" tanya Pramugari wanita dengan paras Jepang ketika waktu untuk makan malam tiba.

"Tell me more about it, last year my mom brought the one from Niigata Prefecture? I forgot where the exact place," jelasku sambil menatap mata pramugari dengan senyuman terbaik.

"Oh, seems your family is frequently visiting Japan, well let me just pour a bit and you can taste it." Pramugari menuangkan sedikit sake untuk aku cicipi. Dia tersenyum dan memberikan gelas kepadaku. "Itadakimasu, Sir Sancaka."

Sake memang minuman alkohol yang cita rasa sangat berbeda daripada minuman sejenis. Rasa manis menggoyang lidah dan menyambar pada tiap saraf di kepala. Sake, memiliki citra rasa tersendiri dengan manis dan ringan menyambar. Ibu memang biasa ke Tokyo untuk melihat butiknya yang menjual batik asal Indonesia dan selalu membawa pulang sake untuk bapak. Tahun lalu, aku iseng saja menuangkan dan mencicipi. Aku memang peminum, akan tetapi Bapak dan Ibu tidak pernah mengetahui perilaku ini. Tenang, aku akan selalu bijak dan akan terus berprestasi atas nama mereka.

"Sir, I am waiting here," tegur Pramugari ketika aku tenggelam pada pemikiranku.

"Shit, I am sorry," seruku sambil mencicipi dengan cepat, "Well it is good, but I can't drunk on the plane, so I am super hungry right now."

***

"EUREKA! WHAT THE HELL IS THIS, AM I EINSTEIN RIGHT NOW? OH! EVEN BETTER, I'M SANCAKA SCHRODINGER!" seruku dengan penuh lantang di dalam lab.

"DIEM! SUARA LU BISA BIKIN RUSAK PERALATAN LAB!" Abyan langsung menutup mulutku dengan tangan.

Aku tidak bisa menafsirkan rasa yang membara di dalam jiwa. Tidak bisa aku tafsirkan rasa yang campur aduk di dalam hamparan penghubung logika dan hati. Tidak bisa aku tafsirkan dalam bahasa di dunia. Bagaikan Tuhan memberikan seluruh alam semesta dalam satu detik.

"WOI, ayolah gue ngga pernah paham ini semua, brengsek." Abyan menoyor kepalaku.

"Ketiganya berkelindan! Dengan formula yang aku masukan ke dalam algoritma! Lihat di baris ini," seruku dengan nada yang berapi-api sambil menunjukkan hasil coding di layar komputer.

"Software yang kita gunakan sama, jadi kalau gue masukin kode ini maka simulasi permodelan akan divisualisasikan." Abyan kemudian memasukan kode pada software yang akan melakukan visualisasi pada permodelan..

Layar kemudian mengeluarkan jendela dan membuat animasi. Terlihat gambaran tiga zarah elektron dalam bentuk gelombang melakukan spin yang saling berkelindan. Abyan sekarang hanya bisa terdiam dan seakan kagum dengan pemodelan. Walaupun Abyan tidak mengetahui lebih dalam, tapi dia paham beberapa mengenai fisika teori terutama dalam hal kelindan.

"Lu udah melihat datanya?" tanya Abyan.

"Masih diolah sama komputer dan sebentar lagi selesai." Tanganku terasa begitu dingin dan masih tidak percaya terhadap hasil yang diluar ekspektasi. Sudah hampir satu semester aku memikirkan sebuah penarikan kesimpulan bahwa Hidden Variables Theory dengan berbagai percobaan tetap masih dianggap tidak benar. Secarik kertas kemudian keluar perlahan dari mesin pencetak dan mengeluarkan berbagai angka dari piranti lunak yang mengolah seluruh permodelan.

"Kita lihat bagaimana percobaan ini bisa menghasilkan hal yang sangat signifikan," ucapku sambil mulai melihat keseluruhan angka-angka di atas kertas.

Model Succeed

Project___3___def (1,9191919191919)

n (value) < 1,91919191919

Segenap aku terdiam. Aku tidak mengerti dengan apa yang komputer baru saja cetak. Hasilnya jauh berbeda dengan apa yang aku masukan tadi, "Ini aneh."

"Kenapa?" tanya Abyan.

"Seluruh peneliti pendahulu dan percobaan kemarin tidak pernah ada hasil 1,919 sekian ini," jelasku sambil menunjukkan salah satu bagian kertas ke Abyan.

"Harusnya 2? Seperti di papan tulis itu?" Abyan menunjuk ke papan tulis yang terdapat formula dasar dalam Hidden Variable Theory.

"Kalau gue lihat, formula ini hanya berdasarkan distribusi pada dua kelompok variabel yaitu A dan B. Tadi gue melihat formula yang lu pakai untuk percobaan tiga elektron dan semakin kompleks distribusi variabel yang ada. Kau tidak hanya tiga individu variabel seperti A, B, dan C, akan tetapi juga ditambah dengan AB, AC, BC, ABAC, dan seterusnya. Bisa jadi ini suatu hal yang baru." jelas Abyan sambil mecorat-coret papan tulis.

"Mungkin saja, tapi gue kemarin juga sudah memperkirakan itu semua dan hasilnya akan kembali ke angka "2". Apa mungkin saja selama ini gue hanya mengikuti dasar teori yang memang akan selalu memberikan kesalahan dan dengan percobaan tiga elektron." aku berhenti sejenak dengan kepala yang sudah semakin panas akan putaran pikiran di dalam kepala, "Mungkin ini adalah variabel yang tersembunyi."

Tidak pernah aku dan Abyan berada di kondisi seperti ini, dunia persahabatan kami biasa dipenuhi fantasi dan gemerlap kebahagiaan yang bersifat sementara. Kali ini kami berdua meluruh semua pikiran pada permodelan. Pernyataan Abyan sudah aku pikirkan sebelum aku menjalankan permodelan. Saat ini aku hanya bisa menggapai tombol "Save" dan mengirim fail yang berisi data permodellan ke professor.

"Did you just sent it to your professor?" tanya Abyan.

"Yes. Yes, I did."

K E L I N D A NWhere stories live. Discover now