SATU-°

8 0 0
                                    



If we were an ant we will see the light bulb as a sun. If we were an ant we will swim in the puddle

Los Angeles, Maret 2017

"Sancaka!"

Terdengar panggilan temanku bernama Abyan dari kejauhan tempat aku berdiri. Dia berlari menyusuri trotoar dengan wajah seakan baru saja melakukan kesalahan. Diriku hanya bisa memerhatikan Abyan yang sangat terengah-engah ketika sudah berada di depanku. Kilasan matahari menyentuh rambut Abyan yang sudah basah karena berlari. Aku seakan menebak apakah dia baru raja ketinggalan bis dan berlari dari apartemennya?

"Kenapa sampe lari segala?" tanyaku dengan wajah yang menjengkelkan sambil menyeruput es kopi hitam pahit.

"Don't you dare to ask that kind of question, Caka, I just ran from my apartment just because I missed the bus!" Abyan meluapkan emosi dengan suara yang benar-benar pendek setelah lari kurang lebih dua kilometer dari tempat aku menunggu.

"Terkunci lagi? Or the lady in-front of your room need an assistant to feed her cat again?" Sambil membuka penutup gelas pada kopi aku melontarkan hal yang dapat membuat diri dia tertekan. Memang Abyan itu salah satu orang yang mudah terpancing emosi, akan tetapi kadang bisa untuk menghibur hari-hariku.

"Bacot lu," tutur Abyan dengan tegas sambil tangan yang sibuk mengeringkan rambut dengan handuk warna abu-abu. "Lu bangsat! Ini tiket kita hangus! Allegiant is the movie I've been waiting for, Abyan," seruku dengan kesal melihat kelakuan Abyan yang selalu telat. Dia memegang kepalaku dengan tiba-tiba, "Lu tajir."

"So?"

"Beli tiket di Chinese Theater buat kita berdua kayak beli permen," tuturnya sambil melepaskan tangan dariku, "Sehingga mudah untuk lu beli tiket lagi."

"Tapi, uang gue nggak akan bisa buat ketemu sama Shailene Woodley!" seruku sambil urat-urat di leher terlihat.

"Shut your mouth, sekarang mau bagaimana?" Dia bertanya.

"Kita nonton dan setelah iu bayarin gue minum," balasku sambil menunjuk salah satu bar yang berada di seberang jalan.

"Iya, tapi awas kalau tiba-tiba lu ilang lagi ninggalin gue," tuturku.

"Deal." Aku memberikan janji kelingking kepada Abyan.

Sudah hampir empat tahun seluruh kehidupanku berpindah ke salah satu pusat hiburan secara visual di dunia. Setiap hari yang biasa melihat bintang dunia di layar kaca, sekarang bisa bertemu di jalan atau satu kafe. Kehidupan di sini bisa dikatakan sama seperti kota-kota besar lainnya, namun tentu akan ada keunikan tersendiri termasuk juga di Los Angeles. Ekspektasiku benar-benar terombang-ambing ke atas dan juga ke bawah setelah menyadari bahwa tidak ada lagi waktu untuk bersenang-senang. Lulus dari gelar master yang akan aku raih di pertengahan tahun depan semakin nyata. Sulit untuk dihadapi, akan tetapi hal ini mengingat dahulu saat aku masih remaja. Ketika duduk di kelas tiga SMP, semua orang bersenang-senang dengan hal yang pantas didapatkan di masa remajaa. Bola, bermain PS, mengidolakan idol dari korea selatan, atau hanya sekedar mengagumi seseorang dari kejauhan. Tidak tahu mengapa saat itu aku terpaku atas hitungan dasar yang mengungkapkan besaran gaya dan energi. Di dalam diri aku benar-benar merasakan kesenangan yang cukup aneh ketika memecahkan masalah pada pertanyaan.

Tangerang Selatan, 2010

"Lu belajar mulu," tutur Kakakku bernama Pandawa yang kala itu sudah duduk di bangku kuliah.

"Nanti juga main, Panda," balasku sambil tetap memerhatikan kursus lewat layar komputer yang kala itu masih menggunakan DVD.

"Aneh, padahal jaman gue dulu nggak perlu-perlu banget belajar," kemudian dia menyalakan TV dan berkata, "Nilai UN ujung-ujungnya juga bisa bikin gue masuk sekolah unggulan, walaupun sering kelelep banjir."

K E L I N D A NWhere stories live. Discover now