Dineshcara berusaha mengingat-ingat apa saja keinginannya yang belum terwujudkan. Sebenarnya ada banyak, tapi Dineshcara akan memilih yang benar-benar ia inginkan untuk bisa terwujud. Terlebih ia akan mewujudkannya bersama Ishara.

"Piknik," jawab Dineshcara. "Kita bawa alas buat kita duduk, bawa makanan sama minuman, kita ngobrolin banyak hal di suatu tempat yang rindang, nyaman, gak terlalu ramai, intinya yang cocok buat orang kayak aku yang malas ketemu banyak orang."

Ishara berusaha berpikir tempat apa yang cocok untuk menggambarkan tempat yang sesuai dengan kriteria yang Dineshcara sebutkan.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Ishara sudah menemukan tempatnya. Mungkin ia bisa mengajukan idenya nanti kepada Dineshcara.

"Boleh. Tapi, tanpa handphone. Lo setuju?"

Dineshcara mengerutkan keningnya, kaget. Justru ia membutuhkan alat tersebut untuk mengabadikan momennya. Terlebih momen tersebut dilewati bersama Ishara, laki-laki yang ia sukai sedari dulu.

"Maksud gue, lo boleh bawa handphone. Tapi, sewaktu kita ngobrol, hp-nya harus kita simpan. Lo boleh abadiin momennya sebanyak apapun lo mau, lo boleh fotoin gue sebanyak-banyaknya dan secara terang-terangan tanpa perlu kayak sebelumnya kalau paparazi harus lo zoom sampai berkali-kali. Kualitas foto lo bisa lebih bagus."

Dineshcara memejamkan matanya rapat-rapat guna menahan malu. Bagaimana bisa Ishara mengetahui kebiasaannya yang bisa dibilang cukup buruk itu? Memfoto orang lain tanpa izin memanglah melanggar privasi, tapi sungguh, jika harus diungkit seperti ini ia merasa sangat malu.

"Lucu," gumam Ishara pelan, bahkan Dineshcara tidak dapat mendengarnya. Ia menghentikan laju motornya saat sudah sampai di halaman rumah Dineshcara, disusul pergerakan dari gadis itu yang turun dari motornya. "Setuju sama usulan gue?"

"Setuju! Emang konsep kayak gitu yang aku mau, Kak. Isi keseluruhannya benar-benar quality time," jawab Dineshcara.

"Okay. Gue pulang ya, besok pagi gue jemput lo. Jam delapan pagi ya, Anak Kecil."

***

Keesokan paginya, Dineshcara sudah bersiap-siap sejak pukul enam. Ia menyadari bahwasannya selalu membutuhkan waktu yang lama untuk sekadar mandi, memilih baju, memakai skincare, dan lain sebagainya yang jika Dineshcara sebutkan satu persatu akan membuatnya lebih lama lagi dalam bersiap.

Aji, adik satu-satunya Dineshcara, sedaritadi keluar masuk kamar Dineshcara. Tentu saja hal tersebut membuatnya kesal bukan main. Ia yang tengah fokus menata rambutnya selalu menoleh ke kanan dan kiri, ke mana saja adiknya melangkah masuk kamarnya. Berjaga-jaga jika anak kecil itu akan membuat kamarnya berantakan seperti biasa.

"Ji, kalau sampai kamu masuk kamar Kak Din lagi, Kak Din bakalan aduin ke mama loh ya," ancam Dineshcara mengangkat sisirnya, alih-alih memeragakan seorang tokoh film yang memegang pisau atau alat tajam lainnya.

"Kak Din sabar dulu. Aji tuh lagi cari buku matematika punya Aji. Yang semalam Kak Din bantu kerjain tugasnya," balas Aji sembari menggeledah isi kamarnya.

Melihat aksi penggeledahan itu membuat sang kakak kesal. Lihat saja meja belajarnya saat ini, sudah berhasil Aji sulap menjadi tempat paling berantakan di ruangan ini.

"Aji, stop! Jangan diberantakin lagi! Semalam 'kan Kak Din udah bilang, simpan bukunya langsung ke dalam tas. Aji juga udah simpan bukunya ke tas, Kak Din liat sendiri. Makanya, yang ada di pikiran Aji tuh jangan game-game mulu," omel Dineshcara sedikit meninggikan suaranya beberapa oktaf.

Prolog Tanpa Epilog [TERBIT]Where stories live. Discover now