13

25 4 0
                                    

Stevy masih mematung di tempatnya dan persis di posisi yang sama di mana Orion meninggalkannya beberapa saat yang lalu.

Tangannya juga masih setia memegang bibirnya yang terasa aneh dan sedikit kesemutan padahal Orion hanya menempelkan bibirnya. Tidak melumatnya seperti kebiasaan Orion selama ini saat setiap bertemu wanita mana pun yang menjadi teman tidurnya.

Otak Stevy masih tidak bisa berpikir jernih. Rasa bibir Orion mirip sekali gulali yang pernah ia makan waktu kecil saat keluarganya masih kumpul bersama dan mereka hidup bahagia.

Kala itu, dia juga bisa bebas bermain di wahana apapun ketika pergi ke pasar malam atau mengunjungi Dufan. Sayangnya, semua itu seakan hanya tinggal kenangan dan mimpi kala sang ibu memutuskan untuk pergi dari hidup ayahnya yang mulai mabuk-mabukan dan berjudi.

Hidup Stevy berubah seratus delapan puluh derajat. Sang ibu pergi dengan membawa kedua anak laki-lakinya. Sementara dirinya dia tinggalkan pada mendiang sang nenek dan hidup bersama ayahnya.

Hal itulah yang membuat Stevy tanpa sadar dan tidak mampu melawan alam bawah sadarnya, hingga ia meneteskan air mata. Sebab kecupan Orion barusan, seakan membawanya pada ingatan lama, tentang rasa manis gulali itu.

“Woe cewek aneh!” panggil Orion membuyarkan lamunan Stevy yang segera menyeka air matanya dan mengatur hatinya agar tetap tenang. “Siapin makanan Gue!”

“Tapi aku belum masak.”

“Gue udah beli! Tinggal Lo tata dengan rapi. Buruan! Sebelum gue buntingin lo sekarang juga!”

Tanpa menunggu lama dan tidak memberikan banyak komentar lagi. Stevy langsung bergerak keluar dari kamar setelah berulang kali mengatur napasnya. Padahal Orion juga tidak akan bisa melakukannya. Namun siapa yang bisa menebak cara berpikir fitnah dakjal suaminya itu. Bisa-bisa Orion akan memaksanya meski sedang tidak bisa sekalipun.

Orion ikut melangkahkan kakinya keluar dari kamar mengikuti Stevy. Dia duduk menunggu di meja makan sembari memperhatikan Stevy yang sedang menyiapkan dan menata banyak sekali makanan yang sudah dia beli.

“Ini kenapa makanannya banyak banget? Apa kamu sanggup habisin semuanya? Sayangnya lho uangnya. Padahal susah banget dapetin uang.”

“Lo lagi curhat?” skak Orion seraya tersenyum smirk. Ia meraih minuman yang lebih dulu disiapkan oleh Stevy dan meneguknya tanpa mengucapkan bismillah. “Gue punya banyak duit. Terserah gue kalau mau beli makanan yang bahkan segede gaban sekalipun.”

“Bagus juga sih. Supaya bisa disedekahkan kalau kamu enggak sanggup makan.”

Orion mengerungkan wajahnya. Dia tidak suka dengan jawaban Stevy. Selalu saja ada hal-hal yang bisa gadis itu ucapkan sebagai bantahan. Padahal Stevy juga tidak bermaksud demikian.

“Lo nanti ikut Gue ke bar.”

Tangan Stevy yang sedang memegang piring itu seketika membeku. Dia menatap Orion dengan saliva yang terasa tercekat di tenggorokan. Bisa-bisanya pria itu berani mengajak dirinya ke tempat maksiat itu.

“Aku enggak mau.”

“Patuh sama suami!”

“Tapi bukan berarti dalam hal kayak gitu,” tuturnya santai seraya melanjutkan aktivitasnya yang baru saja terhenti sejenak. “Tidak ada ketaatan terhadap makhluk di atas kemaksiatan kepada Allah. Kamu bisa menindasku dengan apapun. Tapi tolong, jangan mencoba untuk menghancurkan imanku dan memaksaku untuk berkhianat pada Rabbku. Karena aku enggak akan tinggal diam.”

Tarbiyah CintaМесто, где живут истории. Откройте их для себя