PROLOG

594 44 9
                                    

Sejatinya, langit memang indah. Terkadang kelabu, kemudian muncul secercah cahaya pertanda matahari segera naik, lalu kembali menggelap ketika hari akan segera berakhir. Terkadang bertabur bintang. Terkadang mendung dan turun hujan. Terkadang juga, akan muncul pelangi setelah hujan. Dan kebanyakan orang lebih memilih senja sebagai langit favorit mereka. Apapun itu, setiap orang pasti memiliki versi langit favoritnya masing-masing.

Sekarang, cobalah sejenak menunduk alih-alih terus menengadah pada langit. Langit memang cantik. Tapi ternyata, tanpa bumi- apa jadinya langit tanpa bumi?

Berkali-kali, sambil berpijak diatas bumi, sering kali kita berkata dengan jelas tentang betapa indahnya langit kala itu.

Seandainya bumi berbicara, akankah ia merasa ini tidak adil? Akankah dirinya berkata, setidaknya lihatlah juga dia? Setidaknya, bolehkah dia dapat pujian juga? Tentunya meski tak akan sebanyak orang-orang memuji langit.

Perkara kisah langit dan bumi memang tidak ada yang tahu pasti. Karena telinga manusia tentu tak mampu mendengar keduanya yang jelas tak bisa berbicara.

Kalau begitu mari kita lihat sebuah contoh yang lebih sederhana. Tentang dua manusia, yang juga sama-sama ingin didengar, sama-sama saling membutuhkan, namun belum bisa saling berbicara. Mereka adalah, Langit dan Bumi.

Setidaknya, ia juga ingin dilihat. Tapi bagi yang terlihat, apakah itu semua yang dirinya inginkan?

•••

Bagi orang-orang, hari disetiap harinya hanya berlangsung sama. 24 jam dikali 7 dalam seminggu selama 12 bulan, kemudian kembali diulang untuk tahun-tahun berikutnya. Dipikir-pikir, tampak monoton. Tapi tidak bagi orang-orang yang menjalani semuanya dengan kebahagiaan. Setidaknya mereka menjalani hari dengan tersenyum, membuat kenangan, yang tentunya menambah kesan untuk bisa terus melanjutkan hidup.

Hal ini berbeda jauh dengan si kakak beradik. Jauh, sejauh hubungan keduanya meski mereka tinggal di atap yang sama.

Di pagi yang terkesan hening itu hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring kaca. Tak ada yang menyadari, diam-diam seorang wanita yang belasan tahun lalu telah melahirkan kedua anaknya itu tengah merasa terharu. Entah kapan terakhir kali baginya melihat pemandangan ini. Lengkap sudah bila sang kepala keluarga juga ada disana, turut menyantap sarapan bersama-sama, sambil saling bergurau sebelum berangkat menuju tujuan masing-masing dihari itu. Namun apalah daya bila bayangan itu hanya bisa terbayangkan dalam pikiran sang mama yang tidak pernah berhenti berharap suatu saat hal itu bisa berubah menjadi kenyataan.

Hari ini memang belum sempurna. Tapi setidaknya masih ada hal yang bisa disyukuri. Kembali lagi ke 'kapan' terakhir kali kedua bintangnya duduk di meja makan diwaktu yang sama. Ternyata sudah begitu banyak perubahan dan perbedaan antara keduanya. Ternyata sudah lama semenjak mereka lulus dari bangku sekolah dasar. Keduanya sama-sama tumbuh tinggi. Siapa yang tahu kalau suatu saat si sulung bisa menyaingi tinggi kusen pintu rumah? Kalau bisa, jangan sampai. Ia sudah cukup tinggi jika disandingkan dengan teman-teman se-usianya. Lalu apa kabar dengan sang adik? Entahlah, bahkan sang ibu juga tidak pernah tahu. Satu-satunya hal yang bisa wanita itu syukuri adalah, setidaknya raga itu masih ada disini. Setidaknya si bungsu masih bisa tertangkap dalam pandangannya setiap hari, meski anak itu tidak betah ditatap lama-lama.

Langit dan Bumi, keduanya tumbuh dengan cara yang berbeda se-beda langit dan bumi yang ada di semesta ini. Banyak perumpamaan yang sering kali orang-orang hadiahkan pada keduanya. Adik kakak itu bagai kutub utara dan selatan pada sebuah magnet. Mereka juga seperti air dan minyak yang sukar untuk bersatu.

Perbedaan ini juga tentu sangat dirasakan oleh mama. Tapi Langit dan Bumi selalu menjadi anak mama. Apapun kata orang-orang, Langit dan Bumi di mata mamanya adalah bagaikan gunung dan pantai yang sebetulnya sama-sama indah di mata orang yang lebih menyukai salah satu diantaranya. Dan sang ibu akan tidak bisa memilih. Karena seorang ibu harus menyayangi anak-anaknya sama rata, kan?

Langit dan BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang