Part 20.

11.8K 1.4K 38
                                    




Selama hari selasa guys and good morning..




















Kekehan Candra mengiringi ucapan Darma. Tertawa merasa lucu melihat reaksi pria yang lebih tua. Mengantongi tangan, Catr- Ah tidak, Candra.. Alter ego Catra berdiri memandang Darma dengan senyum seringai.

"Kenapa kau begitu terkejut ayah?" pertanyaan dibalas pertanyaan. Tuntutan dari nada Candra terdengar begitu kentara. "Kau tidak suka kehadiranku?" di akhiri geraman Candra selangkah lebih dekat.

Nafas Darma memburu, memegang kedua pundak putranya. Memfokuskan segala atensinya pada Candra. "Katakan pada Ayah Candra, kemana Catra?!" ucapan rendah Darma tak bersahabat, menandakan jika dia tengah marah.

Darma tak suka saat Candra muncul. Alter Ego anak satu-satunya itu akan menguasai waktu lebih lama. Sementara putranya Catra tertekan entah kemana. "Panggil Catra, Candra. Jangan pernah keluar dan menggantikan anakku!" Perintah tak ingin di bantah keluar dari mulut Darma.

Biasanya Candra tak pernah keluar. Terakhir Candra menguasai tubuh Catra adalah 5 tahun silam. Membutuhkan waktu selama 3 bulan sampai putranya kembali. Waktu itu, Darma harus memenuhi persyaratan Candra jika ingin Catra kembali.

Menepis tangan Darma di pundak, Candra hanya menyeringai. "Orang bodoh itu tak akan keluar. Aku akan menekannya hingga dia menghilang." Si muda suka memprovokasi. Sementara si tua sedang di atas ambang  kesabaran.

Menggertakkan gigi kesal Darma berpaling. Menutupi wajah menggunakan satu tangan, tangan yang lain berkacak pinggang. Entah kapan AE putranya muncul. Darma tidak tau. Setaunya, sang putra tak pernah depresi hingga menciptakan sesuatu seperti Candra.

Suara Sania histeris begitu mengganggu Darma saat dia berpikir keras. Berdecak lalu menghampiri Sania. Darma menjambak rambut Sania. "BISAKAH KAU DIAM!" bentaknya. Tangan satunya memencet tombol di atas ranjang. Sania merespon dengan teriakan.

"Kemana dokter bodoh itu! TIDAKKAH MEREKA TAU JIKA SALAH SATU PASIENNYA MENGGILA!" ujar Darma berakhir berteriak. Dia sudah tak bisa sabar lagi. Pintu terbuka, dokter bersama dua suster segera masuk tergesa-gesa.

Darma menghela nafas lelah. Sedikit melangkah mundur membiarkan orang-orang berpakaian putih memeriksa istrinya. Senyum miris terpatri di wajah tampan Darma. Merasa bingung setelah semuanya. Berjalan lesu menuju sofa, kembali duduk di sebelah sang putra yang bersedekap dada.

Darma butuh pelukan ibunya. Mata kelam itu berkaca-kaca. Sebisa mungkin menahan isakan yang akan keluar. Dia sudah menjadi seorang suami serta ayah. Tak boleh baginya untuk bersikap lemah. Ia harus kuat seperti kakaknya.

Menyandarkan tubuh di sofa, pria anak satu tersebut tertekan. Setelah memakan waktu bersikap sabar, Darma berada di puncak sabarnya. Menekan kegilaannya sendiri demi keluarga kecil yang bahagia. Akan tetapi semua berubah karena di sebabkan salah satu pondasi.

Istrinya selalu menyudutkan keponakan kecilnya. Dia membiarkan sang istri berbuat sesuka hati dengan alasan memiliki traumatic berujung masalah tak terselesaikan.

"Darma."

Kepala sang empu menoleh. Darma langsung berdiri. Memeluk Marry erat sebelum ibunya berucap panjang. Menaruh wajah lesunya di pundak sang ibu. Menangis dalam diam serta sesak yang menyakitkan. Erat pelukan yang ia lakukan, sebagai tanda bahwa ia sangat terluka.

Marry mengelus punggung Darma. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, matanya bergulir menatap Sania.

Bennedict tepat di belakang Marry, berhadapan langsung dengan wajah sembab Darma. Menepuk kepala putra keduanya dua kali. Membawa kakinya melangkah menghampiri sang cucu, menatap Candra tajam.

"Singa kecil ini mencoba mengaum?" deep voice yang begitu menggairahkan. Tubuhnya merendah agar berhadapan langsung dengan wajah sang cucu. Atmosfer berubah dingin.

Dokter disana berkeringat dingin. Namun sebisa mungkin melaksanakan tugasnya lalu pergi dari ruangan pengap ini.

"Jangan menggigit. Singa kecil seperti mu masih perlu di papah." Tak ada yang salah dengan kalimatnya. Tetapi Candra mendengar itu sebagai sebuah ancaman untuknya.

Candra terkekeh, sama sekali tidak terintimidasi oleh aura Bennedict. Dari dulu, dia memang selalu kagum pada pria tua itu. Meski terlihat diam, Candra tau jika Bennedict bergerak menghapus jejak orang yang telah menculik cucu kesayangannya.

Melirik ranjang pesakitan Sania, ibu Catra sudah selesai di tenangkan. "Baru kali ini kau tidak bekerja baik pria tua," sinisnya melawan tatapan tajam Bennedict.

Bennedict tersenyum sampai kedua matanya membentuk bulan sabit. "Pria tua ini hanya tak ingin seorang anak kehilangan ibunya." Jawaban sarkas adalah yang paling cocok menjawab ucapan sinis.


*

"Kau akan diam ben?" tanya Marry pada Bennedict. Suaminya berjalan di sampingnya, melipat tangan ke belakang berjalan angkuh lurus ke depan menuju ruang inap cucu bungsunya.

Bennedict menoleh ke arah sang istri. "Menurutmu, suami mu ini harus bagaimana Marry?" Senyuman itu kembali di layangkan oleh Bennedict. Marry mendengus merasa terganggu.

"Senyuman ketidak puasanmu menggangguku stupid."

Marry tau, jika suaminya merasa tak senang sekarang. Karena dia harus sabar menahan keinginan membunuh menantunya. Marry melarang Bennedict, karena bagaimana pun Catra membutuhkan sosok ibu. Setidaknya kehilangan dua kaki itu cukup bagi Sania.

Merengkuh pinggang Marry, Bennedict mengecup atas telinga istrinya. "Jika itu bukan keinginan kamu. Wanita itu tinggal nama. Kamu juga tau sayang, Niel menginginkan dia menjadi makanan Arion." Suara nafas Bennedict menerpa telinga Marry.

Marry tertawa pelan. "Astaga, anak itu benar-benar cerminan kamu alih-alih Dominic. Bergerak dalam diam. Itulah mengapa aku menyukai Nathaniel dari pada Catra. Niel begitu pandai menempatkan posisinya. Catra terlalu lembek untuk ukuran Family besar kita."

Melepaskan rengkuhannya, Bennedict menjawab ucapan istrinya. "Haha.. Kau sudah tau dari dulu sayang, alasan mengapa aku tetap mempertahankan individu tidak berguna sepertinya."

"Tentu semua itu karena kehadiran Candra. Kau sangat pintar mempermainkan seseorang Bennedict."

Bennedict tertawa keras hingga suaranya menggema di lorong rumah sakit. "Kenapa? Harusnya dia merasa senang. Karena jika dia tidak berhasil, saat ini dia hidup serba kekurangan."

Mau tau apa yang dilakukan Bennedict? Dia mempermainkan mental Catra kecil tanpa sepengetahuan Darma maupun Sania hingga Candra muncul karena trauma si kecil Catra.

Bennedict hanya tidak suka memiliki orang bodoh di antaranya. Dia bisa menerima semua sikap keturunannya. Tetapi dia tidak menerima sosok lemah tanpa kekuatan.

Barrack berada di puncak karena kerja kerasnya dalam menghasilkan bibit unggul. Tidak ada orang gagal dalam Family nya. Jika itu ada, maka seseorang itu wajib di singkirkan.










Tbc.

Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now