Part 16.

11.6K 1.3K 67
                                    










"Niel!"

Nathan berbalik sejenak kemudian melangkah lebih cepat dari sebelumnya setelah tau siapa gerangan yang memanggil. Tidak memperdulikan Catra yang juga mempercepat tempo langkahnya untuk mengejar Nathan.

Beberapa hari pasca kejadian Catra di bully. Catra di pindahkan kesekolah bersama dengan Nathan dan Delvin. Sejak itulah Nathan enggan berbicara maupun berinteraksi kepada Catra. Nathan merasa akan ada kejadian atau hal yang mampu membuat Sania menyalahkan dirinya jikalau Catra terluka.

"Niel tunggu aku!" Nafas Catra terengah-engah. Rasanya ia sudah tak mampu lagi mengangkat kakinya. Dia berhenti, menormalkan nafas yang memburu, membungkuk lalu bertumpu di kedua lutut.

Nathan tidak menggubris, lelaki matang tersebut terus beranjak pergi mengabaikan Catra. Intinya, Nathan menjauhi Catra. Apapun yang berhubungan dengan Catra, sebisa mungkin ia menjauh.

Nathan bukan benci Catra, dia hanya tidak mau di salahkan atas apa yang terjadi pada bocah itu. Tak masalah bukan?

"Niel!"

Nathan tidak tau, dari mana kekuatan Catra berasal. Anak itu menggapai lengannya. Setau Nathan, Catra berada jauh di belakang. Lalu apa ini? Catra memegang lengannya erat. Tanpa bisa dia bereaksi, tubuhnya di benturkan ke dinding oleh Catra.

"Wtf!" seru Nathan. Punggungnya terbentur tembok. Terasa sedikit ngilu hingga membuatnya meringis pelan.

"Kau gil-"

Kalimat Nathan menggantung. Matanya membulat melihat Catra yang selalu menampilkan wajah manis, suram ataupun sedih bersamaan.. Kini   melihatnya seakan menelanjangi dirinya. Cengkraman kuat di lengannya, Nathan memberontak minta di lepaskan.

"Lepas!"

Catra melepaskannya.. Tetapi tangan mungil itu berhasil mencengkram leher Nathan. "Kau menghindariku Nathaniel!" desisnya.

Nathan memegang tangan Catra, menariknya, berharap bocah itu melepaskannya. Demi Tuhan ia tidak bisa bernafas. Cekikan Catra tidak main-main. Sudut matanya berair, mulutnya menganga meraup kasar oksigen di sekitar.

"Kau tidak boleh mengabaikanku Niel." Catra menekan setiap katanya. "Jika kau melakukan itu padaku. Aku akan mengurungmu untukku sendiri!"

Di ambang kesadaran Nathan menatap Catra sayu. Dia salah, Catra sama gilanya. Selamat Nathan.. Barrack 99% gila. Ya sudah lah, Nathan pingsan dulu, bye semua.


*

"Aaaa.. Tak apa Nathan. Kau bisa.. Kau adalah orang dewasa."

"Anggap saja kau hanya tidak beruntung."

"Sangat tidak beruntung."

"Bertingkah imut, maka semuanya selesai."

Nathan mengucap kata itu berulang kali pada pantulan dirinya di cermin wastafel kamar mandi. Ia sedang berada di toilet kamarnya. Menyemangati dirinya sendiri di masa depan.

Di UKS sekolah, ketika ia bangun, Catra sudah tak ada disana. Lehernya juga tak menunjukkan bekas apapun. Padahal Nathan yakin jika cekikan Catra begitu kuat hingga dia kesulitan bernafas.

"Sial.. Catra juga gila." Nathan menangis bombai memegang lehernya. Sampai saat ini dia masih ingat bagaimana rasa haus akan oksigen.

"Niel! Apa yang kamu lakukan di dalam? Keluar, abang menunggumu. Kita harus segera melakukan makan malam !" Suara Kairo mengintrupsi kegiatan Nathan.

Nathan segera membasuh wajah lalu beranjak keluar. Memasang wajah sumringah ia berkata. "Niel lama abang? Maaf yah. Niel tadi sempat berkaca." Huek! Nathan mual.

Kairo tersenyum tipis. Dia menepuk kepala adiknya kemudian menggiring Nathan kebawah.

Meja makan sudah penuh.. Biasanya lebih banyak dari ini. Nathan suka ketika orang gila di sebelahnya berkurang. Akan tetapi.. Yang menetap di sampingnya adalah biang kerok dari kegilaan ini. Ingin sekali berteriak frustasi melihat Dominic dan Berlyn beradu garpu.

Sean dan Delvin terlihat tak masalah di samping keduanya. Kairo menarik kursi, membawa Nathan duduk disana. Mengambil apa yang akan di makan adiknya malam ini.

Bahkan di meja, makanan banyak yang bercecer. Tetapi kedua orang itu tetap saja melakukan atraksi. Bolehkah Nathan menangis sekarang? Tak ada hal baik dari dia menjadi Nathaniel hingga sekarang.

Satu air mata lolos dari pelupuk Nathan. Ingusnya bahkan ikut meluruh. Bibirnya melengkung, matanya berkaca-kaca. "Hiks." Isakan kecil terdengar.

Sebuah isakan yang berhasil menghentikan aksi kedua orang tua Nathaniel. Tangan Sean berhenti di udara, Delvin berhenti mengunyah, Kairo pun sama. Mereka terdiam melihat Nathan menangis kecil.

"Niel, kenapa?" Berlyn melempar benda yang dia pegang. Menghampiri Nathan lalu memeluk putranya. "Kenapa? Anak mama kenapa sayang?" tangannya mengelus kepala Nathan.

'Pake nanya lagi!'

"Apa ada yang mengganggumu di sekolah?" Ucap Delvin.

'Apa aku harus bilang kalau Catra mencekik ku! Kalian pasti akan lebih gila!'

"Ayo katakan pada kami Nathan. Jangan takut, siapapun itu. Papa akan memberinya pelajaran."

'Maka hukum dirimu sendiri pria tua!'

Tidak mereda malah tambah parah. Nathan melepaskan pelukan Berlyn. Dia berdiri dan bersiap pergi. "Niel lelah..  Papa dan mama tidak pernah akur."

Bagai kesambar petir di hari cerah.. Tubuh kedua orang dewasa yang di maksud Nathan mendadak kaku. Mereka mendapatkan tiga tatapan tajam dari ketiga putra mereka.

Berlyn menyenggol Dominic. "Ini gara-gara kau Dominic! Lihat, putraku menangis!" marah Berlyn.

Dominic menghela nafas. "Iya iya kita yang salah. Nanti minta maaf pada baby."

"Kita? Kau saja!"

"Kita honey."

"Kau!"

"Kita!"

"Kau!"

"Kita"

"Ka-Uhm!!"

Dominic membungkam bibir istrinya. Merengkuh pinggang ramping Berlyn, menekan leher istrinya untuk memperdalam lumatan mereka. Dengan cara seperti inilah ia bisa mendiamkan induk kucing nakalnya.

Sementara tiga nyamuk jadi-jadian di sekitar mereka memilih pergi  daripada terus-menerus melihat kekasara-kemesraan orang tua mereka.








Tbc.

Being the youngest - End - TERBITWhere stories live. Discover now