chapter 46 : pilihan

4.9K 297 169
                                    

༺❀༻

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

༺❀༻

BERLIN menatap kosong kearah bingkai foto Helena di hadapannya, tidak berniat berpaling sedikitpun. Di dalam rumah tak bernyawa ini, sejak tadi Berlin hanya diam mengabaikan para tamu yang berdatangan, dia tidak memiliki tenaga untuk sekedar berbicara, untung saja masih ada Kasih, Tantenya.

Jika dilihat sekilas, Berlin persis mayit hidup, dia terdiam tanpa kata dengan keadaan wajah yang pucat, dan kedua matanya pun sembab. Berlin menahan getaran kecil di bibirnya, gadis itu hendak terisak lagi ketika mengingat bahwa perpisahannya dengan Helena begitu buruk.

"Bunda, maaf, aku gak tahu kalau semalam akan jadi hari terakhir aku lihat Bunda, kalau aku tahu itu, aku gak akan biarin ada pertengkaran semalam, seharusnya aku gak keras kepala ke Bunda, seharusnya aku ngaku salah, seharusnya ..." Berlin mengigit bibir bawahnya, kepalanya menunduk, kedua tangannya meremat erat gaun hitam yang dipakai olehnya.

"... seharusnya aku gak buat Bunda kecewa semalam, aku minta maaf Bunda."

Tercekat, Berlin tak sanggup untuk bicara lagi. Berlin menunduk dalam, penuh penyesalan. Jika saja waktu bisa diputar kembali, Berlin bersumpah untuk tidak pulang larut sehingga tidak terjadi pertengkaran antara dirinya dan Helena semalam.

"Berlin."

Lembut, seseorang menyentuh pundak Berlin membuat gadis itu mendongak. Berlin beranjak dari tempat ketika mendapati sosok Milan. Melihat keadaan Berlin yang tampak kacau, sontak Milan merengkuh tubuhnya, mendekapnya begitu erat.

"Maaf baru datang," ucap Milan yang hanya bisa diangguki oleh Berlin.

"Berlin, turut berduka cita sedalam dalamnya."

Berlin menoleh ketika mendengar suara asing. Ternyata, Milan tak hanya datang sendiri, teman temannya turut hadir, begitu juga dengan Kate, dan ada beberapa wajah asing yang tak Berlin kenal.

"Ah iya, maaf, gue Caramel," ucap Caramel seakan peka dengan raut wajah Berlin.

"Turut berduka cita, Lin," ucap lelaki di samping Caramel.

"Itu Bang Hades," beritahu Milan.

Berlin mengangguk kecil. "Terimakasih, Kak."

Caramel menarik senyum tipis, sebelah tangannya mengusap punggung Berlin. "Jangan terlalu berlarut larut ya, lo gak sendirian kok, masih ada banyak orang yang sayang sama lo, kalau lo bosan sendirian lo boleh kabarin gue, nanti gue nginap sesekali," ucap Caramel.

"Thank you," ucap Berlin pelan.

"Mata lo sembab banget." Kate menatap Berlin khawatir, tidak biasa melihat Berlin seperti ini. "Tante lo bilang kalau lo belum makan sejak pagi, sekarang lo harus makan, gue temenin," ucap Kate, lalu membawa Berlin dari tempatnya.

Berlin menurut karena percuma juga menolak Kate, sahabatnya itu pasti akan terus memaksa. Setelah Berlin dan Kate tak lagi terlihat, Alaric bersuara membuat Milan terdiam beberapa saat.

MILAN [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now