01. Prabu Boko

73 9 0
                                    

3 hari Sekar menjalani dirinya yang baru sebagai Roro Jonggrang, gadis itu perlahan mulai menerima takdir. Kini, dirinya berada di taman Kerajaan dan di temani dengan Larsih dan Ningsih. Gadis itu duduk di ditepi kolam yang ada ditengah taman Kerajaan, taman bunga yang indah dan luas membuat gadis itu nyaman berada disini. Sinar mentari yang memancarkan cahayanya dengan terang, ditambah dengan tiupan angin semilir yang menerpa wajah cantiknya. Kicauan burung dan kupu-kupu yang terbang menjadi pelengkap.

Roro Jonggrang menolehkan kepalanya kebelakang, menatap kedua dayangnya yang berdiri disana. "Kalian berdua, kemarilah."

Larsih dan Ningsih berjalan menghampiri Roro Jonggrang, kedua dayang itu berdiri di belakang Ndoro Putrinya. "Duduklah disampingku."

Mendengar perkataan Ndoro Putri, Larsih dan Ningsih menunduk. "Maafkan kami, Ndoro Putri. Seorang dayang tidak pantas jika harus duduk disamping keluarga Kerajaan." Ucap Larsih.

Roro Jonggrang menghela nafas, "Tak apa, duduklah. Ini perintah."

Akhirnya, kedua dayang itu menuruti apa yang dikatakan Roro Jonggrang untuk duduk disamping gadis cantik itu. Larsih duduk disamping kanan Roro Jonggrang, sementara Ningsih duduk disamping kiri.

Roro Jonggrang menatap ikan-ikan yang berenang, isi pikiran gadis itu dipenuhi berbagai pertanyaan-pertanyaan yang sangat sekali ingin ia ketahui.

"Semenjak 3 hari disini, kok belum ada tanda-tanda penyerangan Kerajaan Pengging ya? apa jangan-jangan adegan Bandung Bondowoso yang membunuh Prabu Boko itu belum terjadi. Kalo begitu, artinya Prabu Boko- ayah Roro Jonggrang masih hidup dong? terus beliau kemana?" Batin Roro Jonggrang.

"Dimana ayahku?" Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari mulut Roro Jonggrang membuat kedua dayangnya menatap dirinya penuh tanya.

"Izinkan hamba menjawab Putri, Saat ini Prabu Boko berada di medan perang, melawan Kerajaan Singoagung." Jawab Larsih.

"Bukankah Ndoro Putri sudah mengetahuinya? maafkan hamba jika pertanyaan hamba lancang sekali Ndoro Putri." Ningsih menyahut.

Roro Jonggrang menggigit bibir bawahnya, ia merutuki dirinya sendiri karena sudah melontarkan pertanyaan yang sangat aneh. "O-oh, maafkan aku. Aku lupa hehe." Roro Jonggrang menggaruk pelipisnya.

'Benar dugaanku kalau Prabu Boko masih hidup.'

••••

Hari mulai sore, Roro Jonggrang berjalan ke aula istana. Dirinya tadi mendapat pesan dari dayangnya, jika Prabu Boko memenangkan perang dan akan kembali ke istana pada sore hari, dan ia akan menyambut kepulangan ayahnya itu.

Hati Roro Jonggrang terasa deg-degan, ia sangat gugup sekali. Dirinya tak tahu harus berbuat apa jika berhadapan dengan ayah Roro Jonggrang yang asli.

Kebetulan dibelakangnya ada Sri, salah satu dayangnya. Ia akan bertanya saja kepada Sri, hal apa yang harus dilakukan untuk menyambut Raja Prambanan itu.

"Sri, pstt." Bisik Roro Jonggrang ke arah Sri. Sri maju selangkah, ia mencondongkan badannya agar lebih dekat dengan Roro Jonggrang.

"Iya, Ndoro. Ada apa?"

"Itu... aku harus melakukan apa jika ayah sudah datang?" Tanya Roro Jonggrang.

"Nanti Ndoro harus mencuci kaki Prabu dengan air bunga yang sudah kami siapkan, itu saja." Roro Jonggrang mengangguk paham apa yang diucapkan Sri.

Setelah agak lama menunggu, kini pasukan Prambanan beserta Raja nya tiba. Di barisan depan ada seorang Pria yang bertubuh tinggi nan besar, serta wajahnya yang sangat garang memimpin prajurit-prajurit Pengging. Pria itu menunggangi kuda dengan sangat gagah dan berwibawa, pria yang sudah berumur 57 tahun itu adalah ayah Roro Jonggrang - Prabu Boko.

Seribu Candi untuk Roro Jonggrang (On Going)Where stories live. Discover now