🦤PART 18🦤

5 0 0
                                    

'Aku hanya punya diri ku sendiri, lalu siapa yang akan menguatkan jika bukan diri ku.'

"Mama," Dara bersembunyi di balik pintu sedikit mengintip seorang dokter yang tengah memeriksa kondisi seorang wanita yang tengah terbaring lemah di atas kasur.

Dadanya berdenyut nyeri melihat wanita yang begitu dicintainya dalam keadaan yang terpuruk. Dara tidak tahu harus berbuat apa, sedang disini sekarang hanya dirinya sendiri. Mamanya sendiri yang melarang untuk bercerita tentang kondisinya pada sang adik.

Dara memiliki seorang Paman yang tengah berada di Spanyol. Setelah menikah Pamannya itu menetap disana. Selesai memeriksa komdisi pasiennya dokter itu keluar untuk menemui Dara.

Sang Dokter merasa iba dengan kondisi Dara. Mereka sudah mengenal sejak lama sebab Dokter itu adalah dokter keluarganya sejak mendiang Kakeknya masih hidup. Dokter Wahyu namanya, bahkan Dara baru tahu jika Pria itu adalah teman kuliah pamannya.

"Masih belum ada perkembangan, kondisi malah semakin buruk" Singkat namun mampu membuat hati Dara terasa di sobek. Tidak ada ekspresi apa pun yang Dara tampilkan, hanya wajah datarnya saja.

"Kapan kamu mau ke rumah sakit lagi Ra? Kamu juga harus memikirkan kondisi kesehatan kamu."

Dara membuang wajahnya kesamping. Menyembunyikan kelemahannya, "Apa masih kamu sembunyikan tentang kesehatan kamu?," tanya Dokter Wahyu.

"Memang tega aku untuk kasih tahu Mama? Lagi pula untuk apa aku kerumah sakit kalau tidak ada perubahan?," dengan jari telunjuknya Dara menunjuk kepala dengan mata berkaca-kaca, "Dokter lihat kan, bahkan rambut aku sudah setipis ini namun tidak ada kemajuan."

"Lagi pula, uang darimana aku untuk melanjutkan pengobatan? Semua barang aku sudah aku jual. Aku nggak mungkin pakai uang Mama-" Dara sampai kehabisan kata-kata dengan sigap Dokter Wahyu mendekap tubuh ringkih itu. Ia benar-benar salut pada anak ini.

"Ra meski kita tidak sedarah namun Om sudah anggap kamu seperti adik sendiri. Dara, Om mohon sama kamu kembali untuk kemo. Kamu harus sembuh Ra, Om ingin lihat kamu wisuda, menikah. Apa kamu tidak ingin melihat Adik-adik kamu tumbuh dewasa?,"

Tidak mungkin untuk tidak merasakan semua itu. Sangat teramat ingin tapi ada pada satu titik Dara merasa lelah. Dara hanya mengangguk kecil agar Dokter Wahyu merasa tenang.

Sepeninggalan dokter wahyu Dara masuk kedalam kamarnya. Ia duduk pada tepi kasur, terdiam sejenak. Ingatnya kembali pada hari dimana dirinya mendapati fakta yang lebih mengguncang perasaannya. Dulu Dara selalu bertanya tentang apa yang sang Mama sembunyikan soal Papanya, tentang mengapa sang Papa kasar pada mereka terutama Dara.

Kemana Papanya saat sang Mama tengah sakit tak berdaya? Kemana sang Papa saat anak-anaknya membuthkan sosoknya? Dan Dara mendapatkan jawaban itu kemarin lusa. Dara bangkit dari posisi duduknya, berjalan ke arah meja belajarnya dimana disana terpajang sebuah foto keluarga.

Dengan penuh rasa kecewa serta sakit hati Dara melempar foto itu ke tembok hingga membuat kaca pada figura pecah dan kali ini tangisan yang selama ini Dara tahan pecah, sungguh terdengar pilu.

Jeritan tangisan itu memenuhi ruang kamar yang terasa sepi dan gelap. Bahkan Dara tidak peduli air mata itu bercampur dengan darah yang keluar dari hidungnya dan sekarang tangan itu juga terdapat warna merah karena mengusap darah yang terus keluar.

Badannya yang sekarang tampak kurus terjatuh karena tidak mampu menahan rasa sakit pada kepalanya, "Brengsek! Gue nggak sudi punya Papa brengsek kaya dia,"

"BAJINGAN DASAR BANJINGAN."

"KENAPA DALAM TUBUH GUE MENGALIR DARAH BAJINGAN ITU," sumpah serapah itu terus Dara keluarkan. Rasanya sudah tidak sudi menganggap bahwa ia punya seorang Ayah.

Bagaimana bisa dirinya tidak tahu bahwa ternyata Ia punya seorang adik selain Kenzo dan Zevanya. Semakin Dara menginganatnya semakin besar pula rasa benci dalam dirinya. Dara membekap mulutnya sendiri agar tidak ada yang mendengar tangisannya.

Namun terlambat ketika tidak sengaja Dara melihat adik laki-lakinya berdiri tidak jauhnya, Dara yang panik ia berusaha menghentikan tangisannya dan membersihkan darah yang mengotori tangan serta area hidung dan mulut.

"Kak Dara," hanya untuk menyahuti panggilan itu saja Dara tidak mampu. Semakin Dara berusaha menghentikan tangisannya malah semakin deras air mata itu mengalir.

Rasa sakit itu Dara sungguh tidak mampu menggambarkannya. Dengan terbata-bata Dara memanggil adiknya, Kenzo berlari mendekati sang Kakak dengan mata yang juga sudah basah.

"Kakak kenapa nangis? Siapa yang sudah buat kakak nangis? Kakak sakit apa?," tangan kecil itu berusaha menghapus darah yang berada di sekitar mulut dan hidung Dara.

"Kenzo benci sama Papa Kak, Papa jahat sama kita."

Dara tidak akan menyelahkan Kenzo karena telah berbicara seperti itu karena memang itu kenyataannya. Dara tidak akan bisa membohongi Kenzo, kerena saat Dara tahu yang sebenarnya Kenzo tengah bersamanya dan mendengar semua percakapan mereka waktu itu.

"Kenzo dengarin kakak! Kakak mohon sama kamu tolong jaga Mama sama Vanya, kamu laki-laki kamu pasti bisa lindungi mereka. Kakak juga mohon sama kamu, jadilah laki-laki yang bertanggung jawab dan jangan pernah sakitin perempuan. Janji sama kakak ya," Dara mengangkat jari kelingkingnya yang langsung di balas oleh kenzo.

"Kenzo Janji akan lakuin apa yang kakak bilang dan Kenzo janji bahwa Kenzo tidak akan seperti Papa. Kenzo juga akan lindungin Kakak."

Di sisi lain di sebuah rumah megah bak istana. Rumah seperti tidak berpenghuni, Kenzo hanya tertawa sumbang ketika melihat wanita yang telah melahirkannya bertelepon sembari menggeret kopernya. Entah kemana lagi wanita itu pergi, Vincent juga tidak ingin tahu.

Kembali Vincent rokok itu sebelum menuangkan anggur merah pada gelas kaca yang harganya selangit.

"Di pikir-pikir mending nggak usah di pikir."

Vincent menelan minuman itu dalam sekali tengguk, kembali Vincent tertawa seperti orang gila, "Fuck! Apa yang demi guenya? Hei I don't need your money or your mansion, I just want a little of your time. have they forgotten that they have a son?,"

"Kata siapa jadi orang kaya itu selalu enak?" Sikap nakalnya, playboynya hanya sebagai pelampiasan dari rasa kesepian.

Terkadang terbesit untuk menyakiti diri sendiri demi mendapatkan waktu orang tuanya. Seperti dulu ketika balapan dan Vincent mengalami sebuah inseden yang membuat Vincent harus rawat inap.

Ya memang dirinya mampu membuat kedua orang taunya berada di sisinya namun hanya raganya saja. Mereka lebih fokus pada pekerjaan mereka saja, di temani atau tidak bagi Vincent itu sama saja. Tidak ada bedanya.

Bahkan sehari setelahnya Papinya ada perjalanan keluar negeri. Di rumah sebesar ini tidak banyak foto mereka bertiga, terakhir kali itu tiga tahun lalu ketika ia memenangkan sebuah kejuaraan.

"Kapan ya gue bisa nemuin cewek yang benar-benar tulus sama gue? Haha fuck lah!."

Tawa Di Balik LukaWhere stories live. Discover now