🦚Lima🦚

15 1 0
                                    


"Astaga Milka udah dong bacanya ini lo makan dulu. Tutup bukunya sekarang!" Kesal sebab ucapannya tidak di gubris Dara merebut paksa buku yang tengah Milka baca, melemparnya hingga jatuh di depan pintu kelas. Melihat wajah Dara membuat Milka urung untuk protes.

Ivan yang mulai mencium bau-bau ketegangan memilih bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Bermaksud mengambil buku catatan milik Milka.

"Kepala lo itu lebih keras daripada batu ya. Apa susahnya gunain tangan lo itu untuk makan sebantar, apa kalau lo makan terus mendadak jadi bodoh. Hobi kok nyari penyakit" hardik Dara. Tanpa mengatakan apa pun Milka beranjak dari tempat duduknya sebelum keluar kelas Milka mengambil buku catatannya yang tengah Ivan pegang dengan kasar.

Satria juga Vincent yang tadi tengah asik push rank ikut merasakan hawa mencekam. Melalui ekor mata mereka, bisa di lihat bagaimana wajah Dara ketika tengah tidak mood. Seremnya ngelebihin falak!

Ivan yang tidak tahu harus berbuat apa memilih bergabung dengan teman sekalasnya yang lain. Dimana mereka tengah duduk di depan kelas seraya beranyanyi. Syifa menghela nafas, dia yang awalnya diam mulai angkat bicara.

"Ra gue tahu maksud lo baik cuma mungkin cara lo salah di tampah mungkin juga mood Milka lagi nggak baik."

"Lo nggak buta sama tuli kan Fa. Lo lihat! Gue udah nyuruh dia makan baik-baik tapi apa? Dia masih aja fokus sama bukunya hargain dikit kek yang sudah susuh-susah ke kantin buat beliin dia makanan. Walau pun dia nggak minta apa sebagai teman kita tega lihat kawan kita kelaparan"

"Apa susahnya sih tinggal makan sebentar saja. Tuh anak punya greed tapi batunya minta ampun." Syifa tidak dapat menyalahkan Dara. Syifa sangat tahu di balik sikap cuek dan galak yang selalu Dara tampakan sebenarnya gadis itu adalah orang yang paling perhatian kepada teman-temannya.

Setiap ada masalah Dara akan menjadi garda terdepan membela sahabatnya. Ya, pengecualian teror dari mantan-mantan atau fans Vincent. Dara akan langsung angkat tangan. Sebelum keluar kelas Syifa mengambil siomay juga mineral di atas meja.

🌻🌻🌻

Perpustakaan. Tempat paling Milka suka selain kantin sekolah. Kursi pojok dekat jendela dengan pemandangan taman kecil menjadi kesukaannya, sudah ada buku catatan sosiologi yang ia bawa di tambah buku referensi yang barusan diambilnya.

Baru beberapa menit Milka membaca buku itu sudah kembali tertutup. Milka menghela nafas kasar, kini baru terasa sakit pada perutnya. Rasanya benar-benar sakit, Milka menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sekarang Milka baru menyesal tidak menuruti ucapan Dara.

"Sudah tahu punya masalah lambung tapi hobi banget skip makan." Mendengar suara itu Milka kembali mendekapkan tubuhnya. Kini orang itu sudah duduk di depannya dengan membawa makanan serta sebotol minerel tidak lupa sebuah obat berwarna hijau yang berada di hadapannya kini.

"Nggak usah ngelihatin gue. Cepat makan jangan lupa obatnya"

"Terus kenapa lo masih duduk di situ?"

"Ini kan tempat umum bebas dong siapa saja yang mau duduk. Makan Milka! Bukan malah ngelihatin gue." Dengan sedikit ragu Milka membuka sterofoam itu dia terkejut dengan isinya, "ini kan.."

"Gue yang minta dari Syifa."

Milka tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Ia segera memakan siomay itu, dia tahu bahwa di perpustakaan tidak di perbolehkan untuk makan atau minum namun karena kondisi yang mendesak Milka tidak lagi memikirkan akan peraturan itu. Yang ada adalah bagaimana bisa orang di depannya ini membawa makanan ini ke dalam perpustakaan tanpa ketahuan?

Sudahlah itu tidak penting. Meski rasa sakitnya belum sepenuhnya hilang tapi kini lumayan.

"Terima kasih"

"Terima kasih sama temen-temen lo. Lo beruntung punya teman kaya mereka, nggak semua orang bisa ngerasain apa yang lo rasain."

Milka tersenyum simpul, "Ya, nggak semua bisa ngerasain apa yang gue rasain."

"Milka apa yang lo kejar nggak akan berguna kalau lo sakit. Kalau capek istirahat, lo itu manusia bukan robot. Lo nggak harus sempurna."

"Lo tahu setengah cerita hidup gue. Itu nggak gampang buat gue Dam"

"Kalau lo nggak bisa cerita ke teman-teman lo. Lo bisa cerita ke gue kan Mil, gue masih bisa buat dengar cerita lo." Milka tertawa sumbang. Gampang sekali laki-laki itu berkata. Bagaimana caranya Milka bisa mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan dan pikirkan mengenai orang di depannya ini.

"Saddam" Orang yang merasa terpanggil pun menoleh pada sumber suara, "Gue cariin juga dari tadi. Lo di panggil bu Dwi ke ruang guru."

"Ngapain bu Dwi manggil gue?"

"Nggak tahu. Oh ya Dam, nanti jadi kan kita pulang bareng?" Saddam mengangguk kecil. Milka diam, menyimak percakapan antara kedua orang itu. Kedua matanya terfokus pada bukunya.

Saking fokusnya sampai tidak sadar jika percakapan itu telah berakhir. Milka langsung berdiri dari duduknya, "Gue balik ke kalas, terima kasih sudah ngaterin makanannya."

Sebelum pergi Milka membersihkan meja itu. Membawa bekas makanannya, bodo amat jika nanti ketahuan dan harus dapat hukuman. Saddam menatap punggung itu dengan tatapan datar, tak terlihat emosi sama sekali. Tidak berselang lama Saddam juga pergi dari tempat itu untuk menemui wali kelasnya.

Sesaat setelah bel masuk berbunyi semua murid kelas 12 IPS 2 sibuk membaca materi minggu ini dari catatan hingga latihan soal yang pernah di berikan. Sebab, mereka baru ingat jika jam terakhir akan di isi dengan ulangan harian sosiologi.

Berbeda 180° dengan Milka yang malah sibuk corat coret bukunya. Sesekali ia akan milirik ke arah Dara, ia ingin minta maaf tapi melihat wajah Dara saja sudah membuatnya ciut.

"Kalau mau ngomong. Ngomong aja kali nggak usah di tahan-tahan gitu" bisik Syifa cengengesan.

Setelah menguatkan mentalnya Milka berbalik menghadap Dara. "Ra gue minta maaf soal sikap gue tadi. Maaf gue nggak ngehargain lo sama Syifa yang sudah beliin gue makanan."

"Nggak masalah. Gue juga minta maaf kerena sudah lempar buku lo." Jawab Dara enteng. Milka tidak tahu apakah ia sudah di maafkan tapi selama dia berteman dengan Dara, bukan saja nada bicaranya yang datar tapi juga wajahnya.

 Milka tidak tahu apakah ia sudah di maafkan tapi selama dia berteman dengan Dara, bukan saja nada bicaranya yang datar tapi juga wajahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Tawa Di Balik LukaWhere stories live. Discover now