Chapter 11 : War

25 17 0
                                    

Euric tampak berjalan di koridor Istana Calicadebra, bangunan paling mewah di tanah ini. Setiap barangnya mengkilap, setiap saka penopangnya tampak kokoh, dan Euric adalah bagian penting dari istana itu.

Euric memasuki kamarnya yang sudah beberapa hari tidak dia sapa. Dia baru saja menyelesaikan konflik di suatu daerah. Tidak semua orang tahu, bahwa jabatan ahli strategi hanyalah sampingan untuknya.

Euric melepas jubah, menyisakan pakaian panjang yang cukup tebal, lalu duduk di tepi ranjang. Dia baru akan berbaring, tapi pintu yang diketuk dan tiba-tiba dibuka menggagalkannya.

"Euric!"

Euric langsung berdiri mendapati pamannya, sang raja, datang dengan wajah cemas. Raja itu bersama dua orang prajurit.

"Iya, Paman?"

Raja memberikan segulung surat. Euric langsung menerima, kemudian membukanya. Betapa terkejut dia saat membaca kalimat demi kalimat di kertas itu.

"Oraderata akan memulai perang. Segera susun strategi baru. Kau bisa berdiskusi dengan para jenderal dan panglima. Yang jelas, aku menunggu hasilnya siang ini," kata sang paman.

Di surat itu tertulis, dewa besar Oraderata telah menurunkan wahyu, bahwa mereka harus merebut tanah Calicadebra.

Oraderata adalah negeri maju yang spiritualis. Tak ada yang lebih benar dari perintah dewa. Mereka menolak sihir san selalu percaya akan ramalan dari para petinggi kerajaan karena dianggap suci.

Ramalan Od pun datang dari Oraderata.

Satu yang membuat Oraderata menjadi menakutkan adalah mereka menguasai ilmu kebatinan. Telepati, membaca pikiran orang, mengirim suaranya di kepala orang lain, dan fenomena-fenomena semacam itu adalah hal yang biasa.

"Paman, sebaiknya kita melakukan negosisasi terlebih dulu," sahut Euric.

"Itu sudah pasti. Tapi aku tidak akan pergi bernegosiasi tanpa strategi dan persiapan."

Raja dan prajurit pun keluar dari kamar Euric, lalu Euric dengan emosi yang sulit ditahan membanting surat itu ke lantai. Dia mondar-mandir di sana, hingga seekor burung datang membawa surat lagi.


Ketika kau membaca surat ini, mungkin kau sudah mengetahuinya. Perang ini tak terelakkan. Kuharap, pedang kita tidak saling bertemu. Aiden.

Sekali lagi Euric membuang surat itu ke lantai. Semesta seperti tidak mau membiarkannya hidup tenang. Dia belum sempat menemui Cara. Dia bahkan belum tidur dua hari ini.

Euric memegang kepalanya dengan frustrasi. "Aku harap ini hanya mimpi buruk."

][

Julia membawa dua lipatan kertas dan melangkah dengan sepatu yang berbunyi, menghampiri kursi guru di ruang konseling, lalu mendudukinya. Dia pun menyodorkan dua kertas itu di depan Darrell dan Cara.

"Jatah izin kalian tahun ini hanya tersisa satu hari. Pikirkan baik-baik ketika akan menggunakannya. Cap jari kalian." Julia menjelaskan dan memerintah.

Darrell dan Cara pun mengecapkan ujung kelingking mereka yang sudah diberi tinta ke beberapa kotak di kertas masing-masing.

"Meski begitu hukumanmu tidak berkurang, Darrell. Hukumanmu akan tetap tujuh hari. Ah, dan ini tongkatmu."

"Baiklah. Terima kasih."

Darrell pun menerima tongkat kecil yang dia titipkan sebagai jaminan. Dia menggenggam, lalu dengan perlahan menghilangkannya.

Setelah melapor, Darrell dan Cara keluar dari ruang konseling. Mereka berjalan beriringan cukup menempel dengan perasaan yang ceria, senang, bahagia, sekaligus malu-malu.

The Stupid WitchesWhere stories live. Discover now