Chapter 2 : Pianist

42 27 2
                                    

Tabir-tabir perbatasan Calicadebra, menjulang tinggi seolah menyentuh pendar ungu langit kala petang. Bak jeruji tanpa celah, meski siapa pun boleh masuk atau keluar setelah menunjukkan lembar identitas.

Di perbatasan Calicadebra dan Oraderata, seorang laki-laki muda berjubah hitam bertudung tampak menunjukkan lembar identitas pada penjaga. Pria itu kemudian memacu kuda cokelatnya dengan santai memasuki negeri indah ini.

jauh dari sana, di Akademi Calic, Cara yang bercelana longgar dan beratasan pendek ungu gelap sedang mengambil ancang-ancang. Dia sudah menguncir rambutnya dengan satu ikatan. Fokus tertuju pada sebuah matras berlapis kulit hewan yang sudah disamak.

"Satu, dua."

Cara berhitung dengan suara lirih. Tanpa angka tiga, dia pun berlari dan, boom, beraksi. Tadinya dia ingin salto, tetapi malah telentang di atas matras untuk yang kesekian kali.

"Ulangi!"

Bug!

"Ulangi lagi!"

Bug!

"Bukan seperti itu!"

Bug!

"Sekali lagi!"

Setiap mencoba, yang juga setiap gagal, dia selalu mendengar perintah singkat dari seorang wanita di kanan matras. Hingga akhirnya, dia berhasil meski hampir terjungkal.

"Whoa?" gumamnya tak percaya.

"Bagus!" seru wanita yang memperhatikan dari tadi, Clair.

"A-apa aku melakukannya?"

Clair memintanya mengulang beberapa kali. Karena sudah tahu, Cara bisa mengulangi beberapa kali, termasuk salto ke belakang. Dia juga langsung bisa melakukannya secara beruntun tanpa matras.

Clair meletakkan sebuah pedang cukup jauh di depan Cara. "Lakukan sekali lagi, lalu ambil pedang ini dan bertarung denganku. Aku tidak akan melukaimu."

"Huh?"

Kini, Clair mengambil posisi di hadapan Cara. Dia seolah sedang mengejar Cara, dan Cara harus salto ke belakang beberapa kali. Cara lalu mengambil pedang, dan langsung berhadapan dengan Clair.

Mereka beradu pedang dengan Cara yang tidak bertahan lama. Pedangnya langsung jatuh, dan dia hanya mampu menghela napas lelah.

"Tidak masalah. Mungkin karena itu bukan pedangmu," ujar Clair.

"Kenapa aku tidak menggunakan milikku sendiri saja?"

"Milikmu sudah pasti menurutimu. Kau harus belajar menggunakan yang biasa seperti ini."

"Tapi aku bahkan belum menguasai pedangku sendiri. Pedangku juga tak selalu menurutiku. Aku belum hafal caranya," sanggah Cara.

"Aku akan mengajarimu itu nanti. Sekarang bertarumglah tanpa sihir denganku. Ambil pedang itu."

Mereka kembali berlatih. Seperti salto, Cara juga cukup cepat belajar menggunakan pedang. Bukan yang sangat hebat, hanya sedikit teknik. Clair mengajarinya satu per satu.

"Cukup untuk hari ini. Lumayan. Kalau kau terus berlatih seperti ini, kau pasti bisa mendapatkan nilai bagus," seloroh Clair.

"Sayang sekali aku pemalas," sahut Cara. "Lagi pula, bela diri dan senjata hanyalah ekstra. Nilai bagusnya tidak akan cukup untuk membuatku lulus."

Mereka menuju salah satu bangku tanam di lapangan sana, duduk, lalu meletakkan pedang. Cara meminum airnya, sedangkan Clair merapikan pedang di petinya.

The Stupid WitchesWhere stories live. Discover now