Entah mengapa akhir-akhir ini Athan jadi sensitif sekali. Sejak resmi menyandang gelar menjadi anak SMA dan merasakan sekolah umum untuk pertama kalinya—setelah belasan tahun terkungkung di dalam rumah, Athan akui ia mudah sekali merasa tersinggung dengan sekitar.

Mendapatkan perlakuan yang berbeda, tatapan mengintimidasi atau penuh belas kasihan, Athan merasa dirinya rendah sekali. Mungkin itu juga alasan mengapa dirinya belum memiliki teman satupun, sebab ia terlalu lemah, terlalu rapuh dan pasti dianggap beban bagi semua orang.

"Jangan mulai, dek. Kakak gak mau kita berantem lagi."

"Siapa juga yang mau kayak gini?"

Atala hanya mampu membuang napas kasar melihat Athan langsung menutup wajahnya dengan buku. Walaupun setelah itu merasa khawatir karena sang adik terlihat bernapas cepat. Ah, situasi seperti ini lagi, gumam Atala dalam hati.

***

Selama di sekolah, Atala akui ia kesal dengan sikap Athan hari ini. Adiknya entah mengapa jadi sulit sekali diatur. Ia bahkan harus memberi ancaman terlebih dahulu agar Athan mau minum obat rutinnya, padahal sebelumnya tanpa diingatkanpun, anak itu akan melakukannya sendiri.

Selain itu, Athan juga tiba-tiba berbeda. Ia terus menyinggung perihal tawaran pertemanan yang didapatkan Atala, mengatakan jika bergabung bersama orang-orang itu pasti menyenangkan. Padahal ribuan kali sudah Atala katakan bahwa ia tidak membutuhkannya, cukup Athan dan ia rasa kehidupan sekolahnya akan baik-baik saja.

"Lihat deh, kalau Atala gabung disana, pasti makin seru, 'kan? Apalagi Atala jago main bola kayak kak Arsen." Athan kembali berkicau, bahkan saat mereka sedang berada di koridor menuju tempat dimana Arsen biasa menjemput. Arah pandangnya menarik Atala untuk sama-sama melihat ke arah beberapa anak yang tengah bermain bola di lapangan outdoor.

"Lihat deh Atala, mereka—"

"Kamu bisa stop gak sih?! Kakak capek dengernya!"

Hening menguasai atmosfer seperkian sekon setelah Atala tanpa sadar meninggikan volume suara. Dalam hati ia langsung merasa bersalah, apalagi saat melihat Athan tampak menunduk setelahnya. "Dek ... kakak gak maksud buat bentak kamu. Tapi, kakak ... kakak cuma gak suka kamu ngomong gitu terus."

"Kalau aku sesehat Atala, aku gak akan nyia-nyiain masa muda yang gak datang dua kali ini." Athan perlahan kembali mengangkat kepala, matanya tampak berair, tapi senyuman tercetak diwajahnya yang selalu pucat. "Daripada cuma temenan sama orang yang masa depannya aja gak ada."

"ATHAN!"

"Kenapa? Bener, 'kan? Sekarang aku tanya, kamu mau terus nemenin aku kenapa? Karena kita saudara kembar? Atau karena kamu kasihan sama orang penyakitan kayak aku yang pasti kesulitan dalam banyak hal?" Athan menatap lekat-lekat wajah Atala yang mulai memerah menahan emosi, "Kalau kamu jawab karena peduli, bukannya kepeduliaan juga hadir gara-gara rasa kasihan, ya?"

"Terus apa bedanya kamu sama orang lain, Atala?" Sambung Athan.

Setelah mengatakan kalimat panjang yang membuat dadanya sedikit sesak, Athan memilih untuk berjalan mendahului Atala. Ia tidak tahu akan secanggung apa mereka setelah ini, mungkin lebih dari kemarin? Intinya sekarang Athan ingin segera pulang, tubuhnya sudah merengek meminta diistirahatkan. Hari ini rasanya ia lelah sekali.

***

Acara makan malam hari ini tidak lengkap. Atala tiba-tiba beralasan perutnya sakit, efek tak sengaja memakan makanan pedas katanya—padahal Athan sendiri tahu kakaknya itu tidak memakan makanan seperti itu selama di sekolah. Atala juga menolak diperiksa Arion, katanya ia akan baik-baik saja setelah makan di kamar, minum obat, dan tidur lebih awal.

Growing Pain: BreathlessDove le storie prendono vita. Scoprilo ora