Mimpi Buruk

3.5K 307 13
                                    

Note: Atala itu HC, ya. Sedangkan Arsen itu JN. Aku ada sedikit kekeliruan di part awal (tapi sudah diperbaiki), maaf :(

Setelah malam dimana Athan dan Atala harus melewatinya dalam kecanggungan, kini anak kembar itu sudah kembali akur seperti sebelumnya. Lagipula, pada dasarnya Atala tidak bisa berlama-lama mendiamkan sang adik dan Athan juga tidak suka keheningan yang mengisi kamar mereka.

Pagi ini, selepas melaksanakan rutinitas sarapan bersama, semuanya mulai berpencar. Adara mulai berangkat ke kantor, Arion mulai berangkat menuju Rumah Sakit tempatnya magang, Arsen mulai bersiap untuk kuliah beserta si kembar yang harus ia antarkan terlebih dahulu ke sekolah.

"Inget! Nanti—"

"Jangan makan sembarangan, jangan kecapekan, harus selalu di deket Atala, gak boleh telat minum obat, gak boleh iseng lepas kanula, dan kalau ada apa-apa harus langsung ngabarin." Tukas si bungsu, Athan, yang diikuti helaan napas diakhir. "Kayaknya aku lebih hafal itu daripada Pembukaan UUD."

Arsen tertawa mendengarnya. Karena gemas, ia kemudian mencubit pelan pipi Athan, si empunya tentunya saja mengaduh. "Jaga diri baik-baik ya kalian, nanti kakak atau kak Arion yang jemput. Jangan ngide pulang duluan!"

"Iya, iya ..." Serempak Athan dan Atala menjawab.

***

Memasuki jam pelajaran ketiga, guru Biologi tiba-tiba berhalangan hadir, alhasil tugas dadakan pun diberikan sebagai penggantinya. Seisi kelas mendadak ramai, Atala yang mencoba untuk tidur sebentar—selagi menunggu jawaban tugas ia dapatkan dari orang lain, terpaksa tetap bangun karena beberapa orang menghampiri bangkunya.

"Tal, ayo gitaran!" Ajak salah seorang seraya menunjuk ke area belakang, sudah ada beberapa orang yang berkumpul disana, pun sebuah gitar akustik yang entah didatangkan darimana. "Mumpung gak ada guru." Lanjut orang tersebut.

Bukan lagi hal aneh jika Atala bisa dengan mudah merebut perhatian banyak orang, membuat ia menerima banyak tawaran untuk bergabung di circle mereka. Atala itu luwes dalam berbicara, ia juga aktif di media sosial; aktif membagikan keseharian selayaknya anak ABG pada umumnya.

Athan hanya diam memperhatikan. Ia tahu Atala pasti menolak tawaran itu dan memilih untuk menemaninya, bergelung dalam rasa bosan yang tak berujung. Tapi, entah mengapa, rasanya sakit saat melihat orang-orang memperlakukan ia seperti bayangan, seperti tak dianggap ada.

"Kenapa ditolak? Nanti mereka jadi kesel lho."

Kepalanya bergerak, menoleh ke arah sang adik yang kini sudah menatapnya. Atala tersenyum, "Kakak 'kan udah pernah bilang, temen kakak cukup kamu aja."

"Atala, jangan gitu! Manusia itu pada dasarnya butuh temen buat bertahan hidup. Kalau cuma aku doang, itu gak cukup, kamu juga perlu orang lain." Athan sedikit menjeda ucapannya, "Kamu udah dapet kesempatan yang gak semua orang bisa dapetin, jadi jangan disia-siain, Atala. Kapan lagi ada orang yang ngajak kamu temenan?"

"Kok manggil nama? Kok gak pake 'kakak'?" Alih-alih merespon dengan jawaban yang sesuai, Atala justru salah fokus pada hal lain. Kenapa tiba-tiba adiknya memanggil ia dengan nama?

"Kenapa harus? Kita 'kan cuma beda beberapa menit."

Atala sedikit memperbaiki posisi duduknya. Keningnya mengernyit, merasa aneh dengan ucapan Athan. Adiknya tampak tak peduli. Setelah mengatakan itu, Athan kembali disibukkan dengan buku pelajaran dihadapannya. "Jangan ubah kebiasaan yang udah dibentuk dari lama, dek! Dari awal kamu manggil aku 'kakak'. Walaupun beda beberapa menit doang, aku tetep lahir duluan."

Growing Pain: BreathlessWhere stories live. Discover now