06. Reaksi Kimia

37 2 0
                                    

Sunyi. Detak jarum jam mengisi keheningan, membiarkan tiap hela napas mengisi rongga paru. Benar adanya bahwa dinding rumah sakit menyimpan terlampau banyak rahasia; doa paling tulus hingga pinta paling serius. Terlihat seonggok tubuh manusia bertumpu pada selang-selang yang saling dikaitkan. Dengan cahaya temaram terlihat seorang gadis mengusap sudut matanya yang berair.

Bukan lagi untuk menderu, tapi untuk syukur yang beribu-ribu.

"Lo nggak tidur semalaman?"

Karissa berjengit menatap laki-laki yang sedang menyipit, mencoba menyesuaikan cahaya ke dalam retina matanya.

"Kenapa lo nggak bangunin gue?"

"Masih pagi. Last night, you fell a sleep behind the wheel. Gue ngerasa bersalah karena minta lo bawain pakaian ganti dari rumah. Untung weekend jadi gue nggak perlu ngerasa double bersalah bikin lo ninggal kelas olimpiade."

Jeviar berdecak, menyahut dengan suara sedikit serak. "Sans aja kali, Kar. Aman. Olimpiade juga masih jauh, bisa prepare kapan-kapan."

"Aman? Kalo lo kenapa-napa dan amit-amit kecelakaan aman?! Terus kalo lo diomelin atau bahkan diaduin bolos ke Tante Kartika masih aman?! Gila lo."

"Udah nggak usah ngomel. Kasian Kiara kalo sampe kebangun." Jeviar beranjak dari sofa, melipat selimut kemudian menunjuk arah pintu. "Mau makan?"

****

Nasi goreng dan teh hangat mengisi meja. Hari Minggu, rumah sakit ramai akan penjenguk dan kerabat pasien. Suara teriakan terdengar melengking dari ujung lorong yang Karissa ketahui sebagai ruang bersalin. Gadis itu meringis. Orang bilang melahirkan itu sama seperti bertarung dengan maut, tidak ada barometer rasa sakitnya. Bagaimana dengan Bunda yang dulu melahirkan 2 putri sekaligus?

"Makan. Tuh, gue pesenin ekstra tomat."

Karissa nyengir. "Thanks! Tau aja gue suka tomat."

"Gue kemarin nggak doyan makan sumpah, Jev! Rasanya tuh perut gue mual terus pusing. Sekarang setelah denger Kiara membaik bahkan udah sadar rasanya plong banget."

Jeviar terkekeh, dekik di pipi kirinya tercetak jelas. "Stress kali lo."

"Ya iyalah! Gue nggak mau kehilangan orang yang gue sayang ke-dua kalinya, eh tiga malah," ujar Karissa menggebu-gebu. "Makanya abis Kiara dibolehin pulang, kita harus ngerayain nonton film bareng."

"Tiga?"

"Bokap gue," jawab gadis itu lesu. "Jangan salah paham, gue nggak doain bokap meninggal cuma ... beberapa tahun belakangan bahkan sebelum Bunda nggak ada, Papa berubah. Enggak, dia nggak berubah jadi Spiderman atau hantu tapi sikap Papa beda. Papa jadi emosional bahkan sering nggak pulang."

"Sampe suatu saat gue nggak sengaja buka chat Bunda sama Papa. Gue nggak bisa deskripsiin perasaan gue kayak apa saat itu." Karissa menghela napas. "Kenapa semua orang nganggap terlahir tuli, tuh, sebuah kekurangan bahkan kutukan sih, Jev?"

Jeviar berhenti mengunyah, suaranya melembut. "Gue enggak. Bagi gue mereka spesial, Kar. Entah Kiara ataupun Tante Kinan mereka spesial. Tuhan tau mereka orang baik jadi Tuhan ambil indra pendengarannya. Tuhan nyelametin mereka dari omongan-omongan jelek manusia."

"Gue setuju sama lo kali ini." Karissa menyuap nasi goreng sembari mengangguk.

"Biasanya enggak emang?"

Karissa menggeleng. "Kecuali kalo masalah tugas, gue selalu setuju sama jawaban lo."

"Dasar tukang nyontek." Jeviar mendengus.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Mar 13 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

MetamorfosisDove le storie prendono vita. Scoprilo ora