CHAPTER 4 : HAMPA, NELANGSA, DIPAKSA

113 3 2
                                    

Ketukan pintu tidak membuat James mengalihkan pandangan dari deretan gedung yang menjulang di belakang dinding kaca ruang kerjanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ketukan pintu tidak membuat James mengalihkan pandangan dari deretan gedung yang menjulang di belakang dinding kaca ruang kerjanya. Laki-laki itu termenung sambil sesekali meneguk isi kaleng bir yang ada dalam genggaman. James tidak pernah mengira hidupnya akan berjalan seperti ini. Hati hampa, hidup nelangsa, dan orang tua terus memaksa. Dia frustrasi dan hanya bisa melarikan diri dengan mengonsumsi minuman beralkohol.

Hanya karena hilangnya satu perempuan, dunia James seolah porakpranda. Di sudut hati terdalam, dia ingin menjalani hidup seperti dulu; bersenang-senang, bergonta-ganti pacar, dan bisa melakukan hal apa saja demi mendapatkan kesenangan. Sayangnya, hasrat untuk melakukan hal-hal tersebut lenyap seiring dengan hilangnya Safa.

"James, belum pulang?" Amelia Gumilar Hartono bertanya begitu memasuki ruang kerja sang sahabat. Lima tahun belakangan, laki-laki yang duduk di atas kursi kebesarannya itu berubah menjadi James yang muram. Tidak ada senyum bahagia ataupun cerita seputar perempuan-perempuan yang tengah dikencaninya. James lebih sering mengurung diri dan meminimalisir bersosialisasi. "Masih mikirin Safa?"

Pertanyaan Amelia sukses membuat James tersadar. Laki-laki itu bergegas bangkit sambil menaruh kaleng bir di atas meja. "Safa? Bagaimana? Ada kabar terbaru tentang dia?"

Amelia menggelengkan kepala. Dia merasa iba melihat kondisi James saat ini. Amelia ingin James kembali menjadi laki-laki penebar pesona yang dikenalnya dulu. "Sampai kapan kamu akan seperti ini, James? Kamu harus ingat, Safa itu mengandung anak Ludwiq, dan mereka sudah menikah. Kamu sendiri, kan, yang mengatakannya?"

James tertegun mendengar kalimat yang diucapkan Amelia. Laki-laki itu tahu bahwa Ludwiq dan Safa sudah menikah, bahkan ... mungkin kini mereka tengah hidup bahagia bersama keluarga kecilnya. Namun, entah mengapa, sulit sekali menerima kenyataan tersebut. Mengetahui Safa mengandung anak Ludwiq saja rasanya seperti mimpi, apalagi kini mereka tidak lagi menjalin komunikasi. Persahabatan antara James dan Ludwiq seolah tidak pernah ada sebelumnya, padahal mereka adalah dua orang yang selalu bersama.

"Saranku, lebih baik kamu cari perempuan lain. Dunia ini luas, James, di luar sana banyak perempuan yang bisa kamu jadikan pasangan. Kalau mau, aku bisa mengenalkanmu pada adik beberapa temanku. Mereka masih single, dan—"

"I dont' need that, Amelia. Listen, tanpa dirimu, aku bisa mencari perempuan yang baik, dan perempuan itu Safa. Ya, hanya Safa Alina seorang."

Amelia membuang napas kasar menanggapi kekeraskepalaan James. Ini bukan kali pertama dia menasihati, tapi hasilnya selalu sama ... James tidak ada keinginan dan usaha untuk membuka lembar baru dan meninggalkan kenangan bersama Safa. "Itu bukan cinta, tapi obsesi, James."

"Obsesi? I—"

"Sudahlah, aku nggak mau berdebat," sambar Amelia membuat James kembali menduduki kursi kebesarannya. Laki-laki itu terlihat lebih tenang saat ini, tidak seperti beberapa menit lalu. James memang selalu tersulut emosi bila membahas seputar Safa. Amelia sendiri tidak tahu hal apa yang sudah Safa lakukan hingga membuat sahabatnya sampai seperti ini, tidak bisa move on.

Pina ColadaWhere stories live. Discover now