CHAPTER 26

189 14 12
                                    

Distrik Shibuya, 2034.

Kasie berusaha keras menggenggam kamera yang ada di kedua tangannya, takut ia tak sengaja menjatuhkannya ke aspal akibat gemetar yang menyerang sekujur tubuhnya. Mati-matian juga ia menahan tangis meski hanya butuh satu kali kedipan mata untuk membuat kedua pipinya menjadi basah. Tapi jika memang ini hanyalah mimpi, untuk apa ia mesti perduli dan menahan segalanya? Tidak akan ada yang perduli jika ia ambruk ke tanah dan menangis seperti seorang balita.

Namun Kasie tetap berdiri diam di sana. Tidak bergerak—tak mampu bergerak. Ingatannya membawanya kembali kepada pertemuan pertama mereka. Dimana Jaden juga berada di seberang jalan dan menunggu lampu lalu lintas di antara ratusan manusia seperti saat ini. Bedanya, jika dulu Kasie merasa takut berpapasan dengan sosok di seberang jalan, kini ia berharap lampu itu segera berganti warna sehingga Jaden bisa cepat menghampirinya.

Perlahan namun pasti, sosok itu bergerak bersama ratusan pejalan kaki lainnya. Berjalan lurus, melangkah teratur, pandangan tak pernah lepas dari Kasie. Dia tidak mampu menahannya lagi. Air matanya tumpah. Tangisnya pecah. Kasie terisak di antara orang-orang yang bergerak maju menyeberang jalan sementara ia terdiam di tempat.

Jaden akhirnya sampai di depannya. Tidak ada yang berubah dari pria itu. Dia tetap seperti Jaden yang ia kenal sebelas tahun yang lalu. Bahkan potongan rambutnya juga sama. Kini Kasie semakin yakin bahwa semua ini hanyalah mimpinya belaka—meski ia yakin sekali kalau ia benar-benar telah terbangun dan berpamitan dari rumah Lucas pagi ini.

"Kau benar-benar datang ke mimpiku," bisik Kasie. Rasa takut yang datang entah dari mana tiba-tiba mengetuk hatinya. Ia takut jika sudah waktunya ia terbangun, semua ini akan menghilang dari hidupnya lagi.

"Tolong jangan pergi dulu, biarkan aku melihatmu lebih lama. Aku mohon."

Satu detik berlalu tanpa balasan. Lalu detik berikutnya. Tangis Kasie semakin membesar. Sewajarnya, orang-orang yang ia temui dalam mimpi memang tidak pernah bersuara.

"Kau tidak sedang bermimpi, Kasie. Ini benar-benar aku," suara Jaden terdengar pada detik ke lima. Salah satu tangannya kemudian menyentuh punggung tangan milik Kasie. "Aku di sini."

Kasie merasa jantungnya berhenti berdetak selama beberapa saat. Pikirannya begitu kacau. Jadi apa yang dilihatnya kini adalah mimpi atau bukan? Jika bukan, bagaimana mungkin?

Pria itu langsung memeluk tubuh Jaden untuk memastikan segalanya. Dan dia merasakan kehangatan tubuh Jaden yang sama seperti sebelas tahun lalu. Tak berselang lama, kedua tangan Jaden ikut melingkar di pinggang Kasie. Dagunya mengusak pucuk kepala pria itu.

"Apa kau percaya padaku sekarang?" tanya nya seolah paham akan kebingungan yang Kasie rasakan.

Kasie melepaskan pelukan Jaden. Walau Kasie memang mengharapkan Jaden kembali, ia masih tidak menyangka akan secepat ini. Dia jadi ragu. "Apakah kau benar-benar Jaden ku? Atau jangan-jangan kau alien jahat yang menyamar untuk mengelabuiku?"

Pria itu mendengus pelan. "Aku memang Jaden mu."

"T-tapi bagaimana?"

"Ceritanya sangat panjang dan rumit. Aku tidak yakin jika kau suka mendengarnya di sini." Jaden menggerakkan kepalanya memperhatikan sekitar

Kasie seolah dihantam nostalgia. "Kemana kita akan pergi? Apa kau akan membawaku melompat lagi?"

Sayangnya, Jaden menggeleng.

"Tidak."

"Apa maksudmu tidak?"

"Aku tidak bisa berteleportasi seperti dulu lagi, Kasie."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Until The Last Rain On Earth [FORCEBOOK]Where stories live. Discover now