CHAPTER 22

125 15 8
                                    

WARNING:

Cerita yang akan dimuat berisi konten dewasa, penggambaran seks secara eksplisit, dan seks tanpa pengaman (tidak untuk ditiru). Konten ini mungkin akan berdampak/menyinggung beberapa orang. Untuk itu kebijaksanaan pembaca sangat diharapkan. Silakan tinggalkan chapter ini jika anda berusia di bawah 18 tahun.

_________________________________

Zürich, 2023.


Rasa pusing yang familiar menyambut kesadaran Kasie. Ia tidak akan pernah terbiasa akan sensasi yang mengikutinya sesaat setelah melakukan lompatan dan berpindah tempat. Hal pertama yang dilakukannya setelah sadar, tentu saja, adalah mencari keberadaan Jaden. Seperti biasa, pria itu terduduk di atas lantai dengan kepala tertunduk, tak sadarkan diri. Kasie terheran-heran bagaimana tubuhnya bisa berada dalam posisi itu tanpa bersandar pada apapun dan tidak jatuh terkulai ke belakang.

Kasie merangkak menghampiri Jaden, lantas memperhatikan sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan kedua tangan Kasie mengangkat wajah Jaden yang tertunduk agar bisa menyaksikan galaksi di dalam bola mata pria itu. Dia tidak takut lagi sekarang. Dia tidak takut pada apapun. Dibelainya wajah Jaden lembut, meresapi setiap rasa rindu yang akhirnya terbayarkan saat itu juga.

Tatapannya menjadi kabur karena desakan air mata yang datang tiba-tiba. Ia tidak melihat wajah Jaden selama satu hari saja, namun ia telah merindukan pria itu hingga rasanya ia ingin mati. Tak dapat terbayang olehnya apa yang akan ia rasakan jika ia tidak mampu melihat wajah pria itu lagi, selamanya.

Kasie maju dan meletakkan bibirnya di atas bibir Jaden, mengecup pria itu lembut. Ia menutup kedua mata, merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa saat. Ia mencintai pria itu dengan seluruh hidupnya. Ia percaya pria itu adalah alasan ia terlahir kembali ke dunia. Ia yakin mereka telah ditakdirkan untuk terus bersama bahkan dalam berbagai kehidupan yang berbeda.

Satu menit berlalu, Kasie menjauhkan wajahnya dan membuka matanya kembali. Hal pertama yang disaksikannya adalah bola mata Jaden telah kembali seperti sedia kala. Pria itu tersadar sesaat setelah Kasie menciumnya.

"Kasie, apakah kau baik-baik saja?" tanya Jaden bingung—sedikit khawatir, melihat Kasie tahu-tahu saja sudah berada di depan wajahnya dengan air mata berlinang begitu ia tersadar.

Kasie mengangguk. "Aku sangat merindukanmu."

"Aku juga sangat merindukanmu, Kasie," Salah satu tangan Jaden menggenggam jemari yang ada di pipinya. Ia ciumi jemari itu satu per satu, tanpa melepaskan tatapannya dari Kasie.

"Aku minta maaf atas segala yang telah terjadi padamu. Itu semua salahku. Aku juga minta maaf atas kematian Archie. Aku tahu kata maafku tidak akan menghidupkan Archie kembali, atau orang-orang yang terpaksa harus kehilangan nyawa mereka di tangan Wayne dan Orion. Namun aku sungguh menyesal."

Bibir Kasie bergetar, membuat ia harus segera menggigitnya. Ia tidak bisa terus-terusan menangis.

"Jaden, itu bukanlah kesalahanmu."

Pria itu menggeleng. "Aku meminta maaf atas perwakilan dari kaumku. Kami bukan kaum pembunuh. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Wayne. Dia menghianatiku dan orang-orang dari planetku. Sekarang dia menyebar rumor bahwa akulah yang telah mengkhianati kaumku sendiri."

Jaden harus berhenti menyalahkan dirinya atas segala sesuatu yang berada di luar kuasanya. Wayne adalah seorang bajingan, dan Jaden tidak memiliki tanggung jawab atas kerusakan yang telah dia timbulkan. Bajingan itu sendiri lah yang harus membayar semuanya.

"Andai saja aku bisa—"

Kasie segera menutup mulut Jaden dengan sebuah ciuman lain karena ia lelah mendengar kalimat penuh penyesalan dari pria itu. Ia tidak melepaskannya begitu saja kali ini. Kedua tangannya turun perlahan-lahan ke arah kemeja Jaden, mengusap dada pria itu lewat luar pakaiannya.

Until The Last Rain On Earth [FORCEBOOK]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن