CHAPTER 19

147 12 10
                                    

Masih segar betul dalam ingatan Kasie bagaimana ia berjalan di tengah hujan sore itu dan tidak tahu kemana ia akan pergi. Setelah beranjak dari pemakaman Archie, yang ia lakukan hanyalah berjalan kaki di sepanjang jalan menuju pusat kota. Ia tidak punya tujuan pasti.

Ia bisa merasakan tatapan orang-orang menembus punggungnya. Awalnya ia mengira mereka melakukan itu sebab ia berjalan melawan hujan hingga tubuhnya menjadi basah kuyup. Namun setelah beberapa kilometer, Kasie mulai memperhatikan bahwa orang-orang itu menatapnya sembari mengeluarkan ponsel mereka. Tak berselang lama, Kasie dapat mendengar suara sirine dari kejauhan, diikuti sejumlah mobil patroli polisi yang kemudian mendekat ke arahnya.

Itu adalah alasan mengapa orang-orang menatapnya di sepanjang perjalanan. Mereka barangkali mengenali wajah Kasie sebagai buronan nomor satu di negara nya.

Sebelum petugas kepolisian sempat turun dari mobil, Kasie telah mengangkat kedua tangannya ke udara. Ia pasrah. Tubuhnya menggigil kedinginan, kepalanya pusing terkena hantaman hujan. Dua orang petugas tetap mendorong tubuh Kasie dengan keras ke arah kap mobil sebelum menarik kedua tangannya ke belakang, lantas memborgolnya. Beberapa moncong senjata juga diarahkan kepadanya. Semua itu terjadi dan disaksikan oleh khalayak umum.

Para petugas memerintah Kasie untuk masuk ke dalam mobil patroli. Tak jarang mereka berbicara dengan nada kuat, membentak, sementara Kasie hanya diam membisu di tempatnya. Ia tidak memberontak ketika mendapat berbagai perlakuan kasar dari semua orang di sekitarnya.

Dari jendela mobil yang buram karena air hujan, Kasie dapat melihat seluruh jalanan ditutup ketika mobil yang membawa dirinya harus lewat. Saat itulah Kasie seolah tersadar; ada sesuatu yang sangat besar tengah terjadi. Sesuatu yang melibatkan dirinya.

Mereka membawa Kasie ke sebuah tempat yang sama sekali tak ia kenali. Ketika ia ditarik paksa keluar dari mobil, langit sudah berubah menjadi gelap. Kasie diseret agar bejalan lebih cepat, meski kedua kakinya masih berfungsi dengan baik. Tidak sekalipun Kasie melakukan pelawanan. Namun mereka tetap memperlakukan Kasie seperti seorang penjahat paling hina di dunia.

Mereka melewati ruangan demi ruangan hingga akhirnya Kasie diletakkan di salah satu tempat yang sangat tertutup. Ia didudukkan secara paksa di sebuah kursi. Ada sebuah meja dan kursi lain di hadapannya. Dari pengamatan sekilas, Kasie menyimpulkan ia tengah berada di ruang interogasi.

Ada dua orang petugas yang berdiri di dekat pintu. Mereka tidak melakukan atau mengatakan apa-apa selain menatap Kasie tajam. Sekitar lima menit setelah Kasie duduk di ruangan itu, seorang petugas lain datang dari pintu. Ia berjalan menghampiri Kasie dan memberikan tatapan paling menghina yang pernah Kasie terima. Bunyi derap sepatunya mengganggu pendengaran Kasie, begitu pula dengan aura yang dibawanya ke dalam ruangan itu.

"Kasie Phrapansat," Dia melemparkan sebuah map ke atas meja dan duduk dengan arogan di hadapan Kasie.

"Apa yang telah kau lakukan hingga Kepolisian Kerajaan Thailand begitu menginginkanmu? Hm?" Alisnya terangkat satu, mulutnya mengisap pipi dalamnya sendiri. "Interpol juga menginginkanmu hidup-hidup. Semua orang menginginkanmu. Beritahu aku, apa yang sebenarnya telah kau lakukan?"

Kasie duduk dengan tenang di kursinya. Ia berkedip amat pelan saat menatap pria itu.

"Tidakkah kalian tahu alasannya sebelum kalian melakukan penangkapan terhadapku?"

Sepertinya, cara Kasie menjawab telah menyinggung pria itu.

"Kau terdengar seperti orang yang pintar berbicara. Tapi aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi," Pria itu mendengus geli. "Jadi langsung saja, apa itu? Apa kau menjual obat-obatan terlarang? Apa kau menjadi bagian dari sindikat perdagangan manusia? Atau kau adalah bagian dari kelompok teroris?"

Until The Last Rain On Earth [FORCEBOOK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang