CHAPTER 25

186 13 14
                                    

Pecinan Yokohama, 2034.

Ada sesuatu yang seolah menghimpit paru-paru Kasie saat ini. Ia tidak tahu apakah itu. Napasnya terasa sungguh berat. Jantungnya berdenyut sakit. Sembari berusaha mengisi udara ke dalam paru-parunya dengan benar, Kasie mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia menatap lampu-lampu dan lampion berwarna merah yang digantung di sepanjang jalan pertokoan. Matanya berubah sendu.

Ia bisa merasakan kenangan dari masa lalu menari-nari di balik retina nya. Seperti gulungan film yang diputar kembali. Tempat ini mengingatkannya pada kota Chongqing, juga, seseorang yang pernah membawanya ke sana.

"Apa kau baik-baik saja?" Dari belakang tubuhnya, seseorang menyentuh bahu Kasie dengan pelan. Ia terkesiap begitu tersadar bahwa ia telah cukup lama berdiri diam di satu titik di tengah hingar-bingar pasar malam.

"Ya. Tempat ini hanya mengingatkanku pada sesuatu," jawab Kasie berbalik dan menatap Lucas. Pria itu mengamati ekspresi sendu pada wajah Kasie. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seolah ada yang menahan lidahnya. Kasie sendiri segera buang muka. Takut Lucas akan mengatakan sesuatu meski pria itu memang telah berhasil membaca pikirannya.

Setiap kali melihat Kasie mendadak terdiam dan bertindak sentimentil terhadap suatu barang atau tempat, maka Lucas akan segera paham dan tutup mulut. Ia tahu Kasie tidak akan suka jika ia harus membawa topik pembicaraan mengenai satu orang yang spesifik itu. Kasie pasti telah berusaha keras untuk melanjutkan hidupnya sebaik mungkin.

Seorang gadis kecil tiba-tiba berlari menghampiri Kasie. Dia adalah gadis cantik dengan rambut dikuncir dua, rambut poni dipotong rapi di atas alis, serta pipi yang merah dan bulat. Kasie tersenyum lebar saat gadis itu sampai di hadapannya.

"Paman Kasie, apakah Paman ingin gulali apel?" tanya gadis itu berbicara dengan bahasa Jepang, sembari menyodorkan satu-satunya gulali apel di genggamanya.

Kasie yang telah belajar dan fasih berbahasa Jepang selama beberapa tahun belakangan, merespon dengan
gelengan kepala. "Tidak, Nami. Paman Kasie sudah tua jadi Paman harus mengurangi gula."

Gadis kecil itu mendongak menatap dua orang pria di depannya dengan heran. Entah bagaimana hati Kasie terasa tergelitik melihat hal itu.

"Paman Kasie tidak terlihat tua seperti Ayah," katanya sambil menunjuk Lucas.

Semburan tawa seketika keluar dari mulut Kasie. Di sebelahnya, Lucas cuma bisa tersenyum sambil menggaruk-garuk leher menghadapi tingkah laku putri semata wayangnya itu. Kasie mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi kemerahan milik Nami. Gadis berusia lima tahun itu seringkali mengatakan sesuatu yang bisa menggelitik perut karena kepolosannya. Suatu waktu, dia pernah berkata kalau hidung Ayahnya, Lucas, terlihat panjang seperti buah akebi.

"Dimana Ibumu?" tanya Lucas pada Nami. Gadis itu berpikir sejenak sebelum menunjuk ke belakang tubuhnya dengan jarinya yang mungil.

Tak berselang lama, seorang wanita dengan mata yang begitu mirip dengan Nami muncul dari balik kerumunan. Dia adalah Aiya, Ibu dari Nami. Dia adalah wanita yang dipilih dan dijodohkan oleh orang tua Lucas karena putra mereka tidak kunjung menemukan seorang pendamping hidup. Begitu mendengar berita pernikahan dari Lucas, Kasie segera terbang langsung ke Yokohama, kampung halaman Lucas, sekaligus tempat digelarnya upacara pernikahan itu. Ia selalu menganggap Lucas sebagai seorang sahabat. Dan tentu saja, melihat sahabatnya berbahagia di hari pernikahan membuat ia bahagia juga.

"Ada penjual gurita bakar di ujung gang. Apakah Kasie-san ingin makan bersama kami?" tanya Aiya dengan suara pelan. Dia memang memiliki suara yang lembut dan pelan.

Kasie mengangguk. "Ya, tentu saja. Silakan berjalan duluan."

Aiya mengulurkan tangannya pada Nami agar mereka bisa berjalan bergandengan. Sejak Nami lahir, Kasie sudah beberapa kali terbang ke Jepang hanya untuk sekedar mengujungi gadis kecil itu. Ia akan membelikannya mainan dan pakaian, tinggal selama beberapa hari atau bahkan seminggu, lalu kembali lagi ke Thailand. Beberapa tahun belakangan ini dia jadi suka bepergian. Bukan hanya ke Jepang, tapi juga berbagai tempat di belahan bumi lain.

Until The Last Rain On Earth [FORCEBOOK]Where stories live. Discover now