30. A Watchdog

139 29 1
                                    

Pagi ini adalah hari ketiga setelah surat kesanggupannya dikirim ke kementrian, dan balasan yang ia terima sebelumnya menyatakan bahwa Snape belum boleh melakukan penelitian jika auror pengawas belum datang. Maka karena hal itu, pagi ini Snape mengerang kesal dan berdecak berkali-kali dari dia bangun idur sampai selesai sarapan.

"Dasar tidak kompeten! Katanya nyawa manusia penting, tapi kenapa malah menunda-nunda penelitian. Keparat sialan!" Ya, itu satu dari enak keluhan yang sudah keluar sebelumnya.

Dengan kekehan geli, Claire menimpal, "Iya, dasar tidak kompeten." Sembari mencepol rambutnya menggunakan tongkat sihir.

"Kan!" seru Snape sambil menunjuk Claire menggunakan jari telunjuknya—mendukung validasi Claire akan umpatannya pada kementrian sihir. "Kalau seperti ini caranya, sama saja memperlambat peluang hidup dan mempercepat kematian orang-orang!"

Snape benar-benar marah akan kinerja kementrian yang katanya mendesak para ahli ramuan, tapi pada kenyataannya begitu lamban dalam menjalankan aturan yang mereka buat sendiri.

Kendati demikian, Claire kembali terkikik. Mungkin kalau ia masih menjadi Claire yang dulu, ia akan muak dengan semua ocehan tidak berguna Snape—tapi untuk sekarang, ia justru dibuat geli. Marahnya itu seperti anak kecil. Apalagi air wajahnya yang benar-benar ditekuk.

"Aku tidak pernah suka dengan orang-orang kementrian. Berlagak sok, berlagak paling berkuasa! Kingsley memang tidak bisa diandalkan."

Claire beranjak dari tempatnya berdiri menuju kursi yang diduduki Snape. "Tapi bukankah sudah lebih baik dari pemimpin sebelumnya? Si kembar Weasley bilang padaku begitu. Katanya sudah sangat membaik, dan mereka beruntung bisa memiliki Kingsley sebagai perdana menteri."

"Bullshit, Claire!" sanggah Snape sembari menarik pelan tubuh wanitanya untuk mendekat. "He is the worst, ever! Even with Cornelius."

Ia mengarahkan Claire untuk duduk miring di pangkuannya, lalu meletakkan kepalanya di bahu sebelah kiri—sebab yang kanan terlalu jauh di sisi sana. Ia menghela napas panjang kala kepalanya mulai diusap. Claire tidak lagi merespon ucapan Snape, ia hanya tersenyum saat melihat kilatan marah di obsidian pria itu.

Lalu saat Snape mengeratkan pelukannya, Claire berbisik, "I believe in you."

Membuat Snape lantas mengangkat kepalanya, menatap Claire yang masih menampakkan senyum manis menenangkan khasnya.

"I trust you. I know that you can make the antidote. I know that you can save this world once again. I know that," sambungnya masih dengan suara lirih, senyum yang mengiringi seakan mampu dengan ajaibnya membawa Snape untuk berlabuh pada cinta yang dibawa.

Dan seraya membawa tangan Claire yang sedari tadi melesak di surai hitamnya, obsidiannya menatap oase itu tak henti-henti.

"Since when?" tanyanya kala ia berhasil menggenggam tangan Claire.

"I don't know," sahut wanitanya seolah bisa membaca pikirannya sehingga bisa dengan cepat menjawab.

"The first snow?"

"No."

"Ah benar, saat itu kau bilang, 'we're not into it, luckly', right?" Claire terkekeh mendengar bagaimana Snape masih mengingat kata-katanya bulan Desember lalu.

"And you?"

"Umm, maybe—"

Tok... tok... tok

Claire refleks menoleh, sama seperti Snape—bedanya Snape langsung menghela napas sembari meletakkan kembali kepalanya di bahu Claire dan mencebik. "Ganggu saja." Begitu cicitnya.

Sequoia | Severus SnapeWhere stories live. Discover now