Reihana yang berserakan (5)

26 11 0
                                    

Aku kembali ke kamarku, memeluk buku-bukuku dan mulai kubaca satu persatu. Tapi sial, saat ini aku tidak bisa berpikir, otakku terus mengarah kepada

"Bagaimana hidupku kedepannya?"

"Bagaimana kalau aku tidak lolos SMA Favorit?"

"Bagaimana kalau aku harus melanjutkan pendidikan ke sekolah swasta?"

"Apa aku akan dibiayai?"

"Kalau aku tidak lolos SMA Negeri, apa aku tidak akan bisa bertemu dengan nasi berhari hari?"

"Kalau aku tidak lolos SMA Negeri, apa aku bisa terus bersekolah? Apa aku akan putus sekolah?"

Ceklek

"2 minggu lagi kamu ujian sekolah, saya gak akan terima kalau nilai kamu dibawah 90" Kata perempuan yang membuka pintu kamarku.

"Iya, bu" Jawabku seadanya.

Aku membuka handphoneku untuk mengecek tugas-tugasku agar bisa aku selesaikan segera.

"Kamu harus pintar, jangan memalukan" Serunya lagi sambil berlalu dan membanting pintu.

"Mun ruksak sieta mbung ngagantian da" Gumamku sambil menghibur diri dengan umpatan kecil.

Pikiranku terus terarah pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa aku temukan jawabannya. Aku menghela nafasku dan menyebut nama Allah sebagai penenang.

Kebetulan, aku ini bukan perempuan yang pandai dalam hal akademik, belum pula menjadi perempuan yang mengenal dan menggali potensi yang dimiliki diri sendiri, toh bagaimana bisa aku mengetahuinya? Sedangkan setiap kali aku ingin mencoba hal baru, aku hanya diremehkan dan dilarang untuk mencoba hal-hal yang ingin kucoba.

Sejak kecil, aku memang selalu dikendalikan oleh Ayahku. Ayah meminta aku pandai matematika, memintaku meneruskan hobinya yaitu badminton dan voli, memintaku untuk pandai menggambar dan melukis, dan lain sebagainnya yang memang diluar kemampuanku. Dan hal demikianlah yang membuat Ayah tidak pernah bangga padaku.

Aku adalah perempuan yang sangat menyukai seni dan sastra, aku pula suka mendaki kisah-kisah yang pernah terjadi di masa lampau, dan tidak hanya itu, aku juga menyukai hal berbau sosial atau kehidupan bermasyarakat. Tentu ini adalah hal yang jauh berbeda dengan apa yang Ayah dambakan.

Selama hampir 9 tahun bersekolah, nilai matematika di rapotku tidak pernah menginjak angka 9, selalu berujung pada angka 87 di setiap semesternya. Tak jarang pula aku dibandingkan dengan Kakak yang selalu mendapat 90 sampai 98 nilai matematika di rapotnya, karena memang Kakak mencintai matematika. Sedangkan aku? Mendapat 87 saja sudah bersyukur meskipun berujung disebut "Bodoh".

Hancurku bukan terletak pada aku yang tidak begitu pandai dalam hal menghitung, tapi perkara bakat lain yang aku miliki tapi tidak dilirik sama sekali.

"Memangnya, orang yang dianggap pintar itu harus orang yang pandai di mata pelajaran matematika ya? Lalu bagaimana dengan aku yang lebih memahami mata pelajaran sejarah? dan sastra bahasa? Apa patokannya hanya matematika ya?" Pikirku setiap hari.

Aku menghembuskan nafas kasar dan memilih untuk menenangkan diri dengan memeluk titipan Rabb-ku.

***
Lebih dari 2 jam aku membaca segala nasihat dari Tuhanku, dibersamai mukenah yang melekat pada tubuhku, air mataku perlahan terjatuh bersamaan dengan ayat-ayat yang kubaca, melepas segala rasa sakit dan lelah yang sudah terlalu lama melekat dalam diriku, hingga panggilan ibadah menghentikan lantunan ayat yang kubaca. Benar, adzan ashar berkumandang yang memberi tanda kalau aku harus segera melaksanakan sholat.

Aku melakukan ritual ibadahku seperti biasanya, saat sudah selesai, aku alat sholatku dengan menggantungnya dan menyimpannya kembali pada tempatnya, tak lupa pula  Al-Qur'an yang kembali kusimpan dalam lemari bersamaan dengan buku-bukuku yang lain.

REGANZZADove le storie prendono vita. Scoprilo ora