Lana menyapa para ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling, yang kebetulan berhenti di depan rumahnya. “Pagi, Bu. Lagi pada belanja apa?” Sapanya berusaha ramah.

Bagaimana pun Lana termasuk penghuni baru di sini. Ia harus berusaha ramah untuk menjalin hubungan baik dengan tetangga di sekitar rumahnya.

Lana dan Bian tinggal di salah satu perumahan cluster. Rumah ini dibeli oleh Bian sekitar enam bulan lalu. Pria itu sengaja membeli rumah ini untuk ditinggali bersama Lana. Bahkan sebelum membeli rumah ini, Bian terlebih dahulu meminta pendapat Lana. Apakah wanita itu suka dengan lokasi rumah dan lingkungannya. Setelah setuju, Bian baru resmi membeli rumah di perumahan ini.

“Mbak Lana, halo. Ini lho saya tuh mau masak sayur asem. Anak saya tadi minta sayur asem.” Ucap bu Fero, salah satu tetangga yang rumahnya berhadapan langsung dengan rumah Lana.

Sembari tersenyum, Lana mengangguk paham. Matanya memindai sayur dan ikan yang ada di dalam mobil pick up. Menimang sayur apa yang akan ia beli. Sedang dirinya belum ada ide untuk memasak apa hari ini.

“Mas Bian kemana, Mbak? Kok udah tiga hari ini saya nggak lihat.” Pertanyaan ini keluar dari mulut tetangga yang rumahnya tepat di sebelah Lana–Bu Andhika.

Sembari memilih sayur yang menurutnya segar. Lana menjawab pertanyaan tetangganya dengan ramah. “Terbang, Bu. Belum pulang. Dua hari lagi pulangnya.”

“Pengantin baru ya. Masih hangat-hangatnya. Kalau sering ditinggal gitu, pasti bawaannya masih kangen-kangen.” Ucap bu Andhika menggoda.

“Bu Andhika bisa aja nih godanya,” Lana tersipu malu. Godaan khas ibu-ibu sekali. Meski usianya masih terbilang muda. Tapi, dirinya harus menyesuaikan diri saat sedang berkumpul bersama para ibu-ibu di kompleks perumahannya. Meski sejujurnya Lana jarang sekali sengaja berbaur. Kecuali jika ada hal-hal penting atau ketika tidak disengaja.

Lana dan Bian termasuk penghuni baru yang usianya masih terbilang muda di sini. Sebagian besar tetangganya telah berusia paruh baya. Maka dari itu, tetangganya memilih memanggilnya dengan sebutan “mbak” dan “mas”.

Dirinya bahkan juga tak dipanggil dengan sebutan “Bu Bian”. Padahal biasanya ibu-ibu di kompleks perumahannya lebih sering memanggil ibu dengan nama suaminya.

“Pagi, Bu.” Sapa tetangga yang usianya beberapa tahun lebih tua dibanding Lana. Datang berbelanja sembari mendorong sepeda roda tiga anaknya.

Sumpah, Lana iri melihatnya. Ia ingin memiliki anak yang bisa menemaninya berbelanja seperti itu.

Lana menjawab dengan senyum ramah. “Halo, Mbak Anika. Mau belanja apa?” Tanya untuk sekedar basa-basi saja.

Anika terlihat mencari sesuatu sembari sesekali melirik ke arah anaknya yang berada di atas sepeda. “Bang, cakar ayam ada nggak?” Menoleh ke arah Lana. “Aku mau masak MPASI buat anakku, Lan. Butuh cakar ayam buat kaldu.”

Mungkin jika Lana memiliki anak dirinya juga akan seperti Anika. Tujuan berbelanja adalah untuk kebutuhan makan anaknya. Tapi, sepertinya hal itu tak bisa Lana lakukan. Karena selamanya dirinya tak akan memiliki anak.

Bang Tigor, penjual sayur menyerahkan sebungkus cakar ayam kepada Anika. “Ini, Mbak. Sisa satu bungkus.”

Wajah Anika tampak sumringah. “Syukur deh ada. Jadi nggak perlu keluar. Anak saya lagi agak susah makan, Bu. Nggak tahu kenapa. Bosen apa ya sama masakan saya.”

“Anak seusia Ghifa gitu biasa, Mbak. Anak saya dulu juga gitu. Kadang makannya lahap, kadang susah. Yang penting telaten aja masakin menu beda-beda.” Bu Andhika telah memiliki dua anak yang usianya telah remaja. Jadi, ia memiliki pengalaman lebih dibanding Anika.

AdaptasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang